Istilah yang menarik adalah McDonaldisasi pendidikan yang diambil dari buku berjudul McDonaldisasi Pendidikan Tinggi (2002). Istilah ini digunakan sebagai perumpamaan logika pendidikan tinggi yang makin hari makin mirip waralaba McDonald. Satu pendidikan tinggi saat ini hanya berorientasi pada kuantitas, dimana semakin banyak menghasilkan sarjana atau diploma semakin bagus citra universitas tersebut. Kedua, efisiensi yang dilakukan dalam rangka meningkatkan produk perguruan tinggi, semakin menghasilkan uang semakin difasilitasi bidang ilmu atau perguruan tinggi tersebut. Ketiga, keterprediksian dalam berproduksi dilakukan dengan mengaitkan antara kurikulum dan manfaat lulusan dalam pasaran kerja. Keempat, teknologisasi yang niatnya digunakan untuk menambah produktifitas malah menjadi bumerang karena tidak dapat dikendalikan.Â
Menuju Pendidikan Tinggi yang Inklusif: Solusi dalam Bingkai Freire
Jika kita mengikuti kerangka pemikiran Paulo Freire, maka pendidikan yang benar-benar inklusif tidak hanya diukur dari jumlah mahasiswa yang diterima, tetapi dari kemampuan pendidikan itu sendiri untuk membebaskan. Pendidikan tidak seharusnya memperkuat ketimpangan, melainkan menjadi alat transformatif yang memungkinkan semua orang---terlepas dari latar belakang ekonomi dan sosial---untuk menjadi subjek yang sadar dan aktif dalam membentuk dunianya.
Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah dengan merevisi struktur biaya pendidikan. Negara harus kembali hadir sebagai penanggung jawab utama pendidikan tinggi, bukan hanya sebagai regulator. Alih-alih menyerahkan pembiayaan kepada pasar, negara dapat menjamin pendidikan sebagai hak sosial, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 31 UUD 1945. Negara bisa memperluas skema beasiswa berbasis keadilan sosial, bukan sekadar prestasi akademik semata.
Dalam konteks akses terhadap ilmu pengetahuan, penting juga untuk mengembangkan sistem open access nasional yang adil. Pemerintah dan institusi pendidikan tinggi dapat mendorong terbentuknya jurnal ilmiah berbasis komunitas yang bebas diakses dan bebas biaya publikasi (platinum OA), terutama bagi peneliti dari daerah atau kelompok marjinal. Selain itu, inisiatif literasi digital dan pelatihan akses data ilmiah perlu dirancang untuk memperluas kapabilitas akademik mahasiswa dari latar belakang ekonomi rendah.
Pendidikan yang inklusif, dalam semangat Freire, juga membutuhkan transformasi dalam relasi kuasa di ruang kelas. Suara mahasiswa dari kelas pekerja, daerah tertinggal, kelompok minoritas, dan penyandang disabilitas harus benar-benar dihargai dalam proses pendidikan. Kurikulum pun perlu dikaji ulang---bukan hanya menyasar kebutuhan industri, tetapi juga mewakili pengalaman hidup dan realitas sosial peserta didik.
Inklusifitas bukan sekadar retorika administratif atau slogan dalam dokumen akreditasi. Ia adalah perjuangan struktural yang membutuhkan keberpihakan. Jika pendidikan kita ingin benar-benar inklusif, maka sudah saatnya kita berpindah dari logika pasar menuju logika pembebasan---sebuah logika yang menempatkan manusia, bukan modal, di pusat proses pendidikan.
Referensi
Freire, P. (1972). Pedagogy of the oppressed. Harmondsworth: Penguin.
Nugroho, Heru. (2002). McDonaldisasi pendidikan tinggi / Heru Nugroho ... [et al.] ; editor, Heru Nugroho. Yogyakarta : Penerbit KanisiusÂ
Altbach, P. G. (2007). Globalization and the university: Realities in an unequal world. In J. J. F. Forest & P. G. Altbach (Eds.), International handbook of higher education (Vol. 18, pp. 121--139). Springer. https://doi.org/10.1007/978-1-4020-4012-2_8
Setiawan, E. (n.d.). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Arti kata inklusif - Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online. https://kbbi.web.id/inklusif