Mohon tunggu...
Daiva Keefe Kalimasadha
Daiva Keefe Kalimasadha Mohon Tunggu... Saya adalah Mahasiswa Antropologi Budaya yang tertarik denga isu-isu kontemporer

Saya adalah Mahasiswa Antropologi Budaya yang tertarik denga isu-isu kontemporer

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Apakah Pendidikan Kita Benar-Benar Inklusif?

30 Juni 2025   10:00 Diperbarui: 30 Juni 2025   09:28 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Information is power. But like all power, there are those who want to keep it for themselves. The world's entire scientific and cultural heritage, published over centuries in books and journals, is increasingly being digitized and locked up by a handful of private corporations.

-Aaron Swartz 

Kutipan di atas diambil dari Guerilla Open Access Manifesto yang ditulis oleh Aaron Swartz pada tahun 2008 di Italia (Wikipedia, dibuka 2025). Manifesto ini berisi buah pikir Aaron Swartz mengenai open access movement dimana semua informasi berhubungan dengan riset dapat diakses secara publik tanpa harus membayar sejumlah uang. Dalam satu dua hal keterbukaan informasi dapat membahayakan kestabilan suatu komunitas, perlu ada alat pengontrol untuk membatasi apa yang dapat kita lihat dan tidak, tapi apakah pernyataan ini tidak kita pertanyakan lagi? Apakah pendidikan yang kita jalani saat ini benar-benar inklusif dan terbuka? Apakah pendidikan kita tidak didasari oleh kepentingan beberapa orang?

Beberapa tahun kebelakang, Indonesia digemparkan oleh tingginya harga yang harus dibayar untuk dapat masuk universitas. Bagi orang-orang yang memiliki modal, nampaknya kenaikan harga UKT (Uang Kuliah Tunggal) dan beberapa tambahan biaya pendaftaran bukan masalah yang besar. Penulis kemudian mempertanyakan ulang, apakah pendidikan tinggi yang selama ini dibalut dengan image inklusif benar-benar inklusif? Dalam tulisan ini penulis menggunakan kerangka Freire (dalam memaknai bentuk pendidikan yang inklusif dan memarjinalkan sebagian kaum. 

Memaknai Inklusifitas dalam Pendidikan Tinggi Indonesia

Apa yang dimaksud inklusifitas dalam pendidikan? Seringkali kita membicarakan inklusifitas pendidikan tapi sebenarnya tidak tahu betul apa yang dimaksud dengan inklusifitas dalam pendidikan. Kalau mengacu pada KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) inklusifitas berasal dari kata inklusif yang berarti termasuk atau terhitung. Kalau mengacu pada framework yang ditawarkan Freire (1972), inklusifitas itu menjadikan pendidikan sebagai ruang pembebasan, pengakuan martabat manusia, dan transformasi sosial. Freire memaknai lebih dalam konteks inklusifitas dalam pendidikan menjadi ikut mengubah sistem agar tidak lagi menindas. 

Dalam model inklusif Freire, setiap peserta didik adalah subjek aktif yang suaranya bukan hanya penting, tetapi menjadi bagian dari penciptaan pengetahuan itu sendiri. Pendidikan yang inklusif tidak boleh hanya berhenti pada teori dan nilai, tetapi harus bisa merespon realitas yang menindas (Freire, 1972). Dalam realita pendidikan tinggi di Indonesia, tidak semua orang dapat mengakses informasi dan pengetahuan yang sama, terdapat tembok tak kasat mata yang membatasi gerak jalan tiap orang. Dalam kasus yang penulis rasa menarik, jurnal menjadi salah satu contoh yang bisa penulis ambil. Kita mengenal istilah open access journal (OA) dimana jurnal-jurnal yang masuk kategori ini dapat diakses secara gratis. OA mungkin menjadi opsi yang menjanjikan dalam konteks inklusifitas pendidikan, tetapi OA juga punya kekurangan, salah satunya adalah beban biaya pada peneliti. 

Selain terkait akses yang tidak merata, penulis rasa biaya kuliah juga termasuk dalam salah satu hal yang kontra terhadap narasi inklusif dalam pendidikan tinggi di Indonesia. Dalam beberapa tahun ke belakang, UKT (Uang Kuliah Tunggal) menjadi salah satu sorotan utama ketika berbicara tentang universitas. Sistem pendidikan Indonesia melepas universitas dalam perihal pembiayaan dengan melabeli universitas dengan label PTN-BH (Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum). Sistem PTN BH ini memberikan kebebasan universitas untuk mengelola keuangannya sendiri, memang betul kebijakan ini memberikan fleksibilitas yang melimpah bagi universitas dalam hal kerjasama dan pengelolaan keuangan, tetapi apakah universitas sudah siap untuk mengelola keuangannya sendiri? 

Komersialisasi Pendidikan di Indonesia

Komersialisasi pendidikan adalah situasi dimana pendidikan bergerak sesuai dengan prinsip pasar; menekankan pada profit, kompetisi, dan efisiensi diatas kesetaraan sosial (Altbach, 2004). Pendidikan sudah bukan lagi menjadi hak setiap orang, melainkan menjadi komoditas usaha. Kok bisa penulis berbicara seperti itu? Coba kita perhatikan perlahan pendidikan kita, apakah semua tidak diorientasikan pada prinsip pasar? Pendidikan bukan lagi sebagai proses pembentukan manusia ia hadir sebagai layanan ekonomi yang memiliki harga dan nilai jual. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun