Kebijakan luar negeri Presiden Joe Biden dalam menghadapi konflik Israel-Gaza dan perang di Ukraina menunjukkan perbedaan pendekatan yang mencolok. Saat politik luar negeri AS di Ukraina dilaksanakan dengan berbagai batasan ketat terkait penggunaan senjata yang dipasok oleh negara ini, Israel diberikan kebebasan yang jauh lebih besar dalam operasinya di Gaza.
Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: Apakah komitmen Amerika terhadap hak asasi manusia dan hukum internasional bersifat universal, atau hanya berlaku selektif sesuai kepentingan geopolitik mereka?
Biden dan Israel: Dukungan di Balik Teguran
Sejak tragedi 7 Oktober 2023, Israel menegaskan bahwa konfliknya melawan Hamas adalah bagian dari perang eksistensial melawan Iran dan kelompok proksi-proksinya. Akan tetapi, kebijakan Biden terhadap Israel lebih sering terlihat sebagai kombinasi antara dukungan publik dan teguran pribadi yang tidak efektif.
Kendati Biden menegur Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, atas agresinya yang melanggar "red line," Amerika tetap mengalirkan bantuan militer dan perlindungan diplomatik bagi Israel di PBB. Dengan kata lain, retorika Biden yang menyinggung hak asasi manusia tidak disertai dengan tindakan nyata untuk menahan laju kebijakan keras Israel di Gaza.
Biden dan Ukraina: Pembatasan yang Ketat
Sebaliknya, melihat sikap AS terhadap perang Ukraina, Biden di sana menerapkan berbagai pembatasan terhadap penggunaan senjata yang diberikan kepada Kyiv, meskipun Ukraina menghadapi ancaman eksistensial dari Rusia. Ukraina sering kali dipaksa untuk menyesuaikan strategi militernya sesuai dengan kebijakan Washington, termasuk larangan menggunakan senjata Amerika untuk menyerang target di dalam wilayah Rusia.
Perbedaan perlakuan ini menegaskan bahwa Biden, presiden AS sebelumnya, tampaknya tidak konsisten dalam menerapkan standar moral dan hukum internasional. Jika Ukraina harus menahan diri dalam menghadapi ancaman agresi, mengapa hal yang sama tidak diberlakukan terhadap Israel yang melancarkan serangan besar-besaran di Gaza?
Hak Asasi Manusia: Prinsip atau Kepentingan?
Sikap plin-plan Biden terhadap hak asasi manusia juga tampak dalam responsnya terhadap pengadilan internasional. Sikap Biden dalam konteks administratif dengan berbagi bukti kejahatan perang Rusia dengan Mahkamah Pidana Internasional (ICC), meskipun AS sendiri bukan anggota ICC, sungguh membingungkan. Namun, ketika ICC mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Netanyahu dan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas dugaan kejahatan perang di Gaza, Biden justru mengecam langkah tersebut sebagai "keterlaluan."
Pernyataan Biden ini mengesankan bahwa hukum internasional hanya boleh diterapkan kepada musuh AS, sementara sekutu seperti Israel, dapat dikecualikan. Jika prinsip hak asasi manusia benar-benar bersifat universal, AS seharusnya mendukung upaya akuntabilitas, terlepas dari siapa pelakunya.
Represi terhadap Protes Pro-Palestina
Standar ganda ini juga tercermin dalam respons pemerintahan Biden terhadap protes pro-Palestina di kampus-kampus AS. Alih-alih melindungi kebebasan berekspresi, pemerintahannya justru menekan para demonstran dengan dalih menjaga ketertiban dan menekan antisemitisme.