Banyak di antara para sarjana era modern menyebut bahwa Nabi Muhammad adalah seorang Nabi sekaligus penguasa atas komunitas Islam. Misalnya saja, William Montgomery Watt---sarjana ilmu sejarah kenamaan asal Eropa---menyatakan bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi yang juga sekaligus sebagai "negarawan".
Meskipun pandangannya tentang Nabi sekaligus penguasa tidak sepenuhnya salah, tetapi sesungguhnya Nabi Muhammad hanyalah diutus oleh Allah sebagai seorang Nabi dan Rasul yang menyampaikan risalah dari Allah .
Oleh karena itu, tugas Nabi Muhammad sebagai seorang penguasa hanyalah alat tambahan saja untuk membantu tugasnya dalam menyampaikan dan mendakwahkan risalah dari Allah di Semenanjung Jazirah Arab.
Singkat cerita, pascawafatnya Nabi Muhammad pada bulan Juni 632 M, posisinya sebagai penguasa yang efektif atas sebagian besar wilayah di Semenanjung Arab menyebabkan krisis konstitusional di tengah komunitas Islam yang telah meluas. Krisis ini diakibatkan oleh "kebingungan" yang disertai dengan "ketegangan" mengenai siapa yang menjadi penguasa atas wilayah komunitas Islam selanjutnya.
Ketegangan ini semakin terlihat ketika penguburan jasad Nabi Muhammad terlambat dilakukan. Kondisi ini disebabkan oleh adanya krisis pergantian kekuasaan yang menjadi polemik di tengah komunitas Muslim.
Oleh karena itu, umat Muslim awal---para sahabat Nabi Muhammad ---harus melakukan pencarian cara yang efektif untuk menggantikan kepemimpinan serta mengupayakan menjaga persatuan umat dengan cara yang masuk akal dan efektif.
Fazlur Rahman menjelaskan bahwa Nabi Muhammad sebenarnya pernah melakukan tindakan untuk mengatasi masalah ini sebelum beliau wafat, yaitu dengan melakukan perimbangan kekuatan politik antara kaum Muhajirin dan Anshar sebagai penduduk Negara Islam Madinah. Namun demikian, setelah wafat, Nabi Muhammad tidak memiliki kesempatan lagi untuk melakukan itu.
Akhirnya setelah diskusi panjang yang berlangsung di antara kaum Muhajirin dan Anshar di Tsaqifah Bani Saidah, para peserta rapat berhasil menetapkan Sayidina Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. sebagai Khalifah pertama pengganti Rasulullah Muhammad .
Menurut catatan sejarah Islam, tanpa kehadiran Sayidina Abu Bakar dan Sayidina Umar bin Khattab r.a., tentunya tidak akan terjadi persatuan umat saat itu. Oleh karena itu, besar kemungkinan bahwasanya kehadiran dua sahabat Nabi yang paling berpengaruh ini telah dikehendaki oleh Allah untuk tetap mempertahankan persatuan di antara komunitas Islam pascawafatnya Nabi Muhammad .
Helmut Gatje dalam The Qur'an and Its Exegesis, dikutip dari Islam dan Pancasila, memberikan pandangannya,
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!