Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Sarjana Hukum di UPN Veteran Jakarta || Nasionalis-marhaenis || Adil sejak dalam pikiran..

"Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya," ungkap Pramoedya A. Toer dalam Tetralogi Buru.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Bagaimana Akal dan Wahyu Mengungkap Sifat-sifat Tuhan? Simak Pandangan Muhammad Abduh!

19 Februari 2025   08:00 Diperbarui: 16 Februari 2025   10:26 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maka, tugas manusia, menurut Abduh, adalah hanya untuk mengenali hubungan antara berbagai aksiden dari fenomena alam dan ciptaan Tuhan, serta untuk menggunakan pengetahuan ini dalam kehidupan sehari-hari. Manusia pun seharusnya mengarahkan pemikirannya pada pemahaman tentang ciptaan Tuhan dan mengambil pelajaran dari sana.

Karena keterbatasan ini, Abduh menekankan pentingnya wahyu sebagai sumber pengetahuan tentang sifat-sifat Tuhan yang tidak bisa dijangkau oleh akal. Hukum suci di dalam Al-Qur'an, yang diturunkan melalui Nabi Muhammad, berfungsi untuk memberikan pengetahuan tambahan yang melampaui kapasitas akal manusia. Sifat-sifat Tuhan seperti kalm, pendengaran, dan penglihatan harus diterima sebagai bagian dari iman, berdasarkan otoritas wahyu, meskipun manusia tidak mampu memahaminya secara utuh. 

Abduh juga menyoroti keterbatasan bahasa dalam menangkap kebenaran hakiki tentang Tuhan. Bahkan jika kata-kata dapat digunakan untuk mendekati realitas, bahasa manusia tidak akan pernah bisa menggambarkan Tuhan dengan tepat seperti apa adanya. Bahasa manusia memiliki keterbatasan dalam menangkap dan menjelaskan kebenaran hakiki tentang Tuhan. Hal ini disebabkan oleh sifat bahasa yang bersifat konvensional dan terbatas pada pengalaman manusia. 

Bahasa diciptakan untuk menggambarkan hal-hal yang bisa dialami dan dipahami oleh manusia, tetapi Tuhan adalah entitas yang transenden dan tidak bisa dibandingkan dengan apa pun yang ada di dunia ini. Karena itu, Abduh mengkritik usaha-usaha filsuf untuk menjelaskan hakikat Tuhan dan menyarankan agar kita berpegang pada keterbatasan akal serta meminta ampunan Tuhan bagi mereka yang terlibat dalam perdebatan-perdebatan teologis yang sia-sia.

Al-Qur'an dan teks-teks suci yang pernah diwahyukan oleh-Nya selalu menggunakan bahasa yang bisa dipahami manusia untuk menyampaikan pesan-pesan tentang Tuhan. Namun, Abduh menekankan bahkan bahasa yang digunakan dalam teks-teks suci ini tidak bisa sepenuhnya mengungkapkan hakikat Tuhan yang sebenarnya. Bahasa Al-Qur'an bersifat deskriptif dan metaforis yang berguna untuk mendekatkan manusia pada pemahaman tentang Tuhan, tetapi tetap tidak mampu mengungkap esensi Tuhan yang sebenarnya.

Menurut Abduh, mencoba memahami esensi dari sesuatu merupakan pemborosan waktu dan energi, karena hal ini adalah tujuan yang tidak mungkin tercapai oleh akal manusia. Menghabiskan waktu untuk memikirkan hal-hal yang di luar kapasitas akal ini justru mengabaikan kebutuhan manusia yang lebih nyata dan mendesak. Dengan kata lain, manusia seharusnya memfokuskan energinya pada hal-hal yang lebih berguna dan dapat dipahami, seperti hubungan antara fenomena-fenomena alam atau hukum-hukum yang mengaturnya.

Abduh menyimpulkan bahwa kewajiban manusia adalah meyakini keberadaan Tuhan yang Maha Sempurna, Esa, dan memiliki sifat-sifat yang disebutkan dalam wahyu, seperti Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Mengetahui, dan Maha Kuasa. Namun, manusia tidak perlu mempersoalkan apakah sifat-sifat tersebut berbeda dari esensi Tuhan atau hanya bagian dari esensi-Nya. Perdebatan-perdebatan teologis semacam itu tidak akan membawa kepada pemahaman yang sejati dan bahkan dapat merusak iman.

Sebagai penutup, pembuktian rasional dalam hal ini memainkan peran yang dapat mengukuhkan iman seseorang. Namun, Abduh menekankan bahwa keimanan yang sejati, tidak hanya didasarkan pada akal, tetapi juga harus didasarkan pada penerimaan terhadap apa yang diwahyukan oleh Tuhan. Akal manusia seharusnya digunakan untuk memahami wahyu dan mengarahkan iman kepada pemahaman yang benar tentang Tuhan dan sifat-sifat-Nya.

Referensi

Abduh, Muhammad. The Theology of Unity (Rislat Al-Tawd). Diterjemahkan oleh Ishaq Musa'ad dan Kenneth Cragg. London: George Allen & Unwin LTD, 1966.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun