Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Sarjana Hukum di UPN Veteran Jakarta || Nasionalis-marhaenis || Adil sejak dalam pikiran..

"Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya," ungkap Pramoedya A. Toer dalam Tetralogi Buru.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Bagaimana Akal dan Wahyu Mengungkap Sifat-sifat Tuhan? Simak Pandangan Muhammad Abduh!

19 Februari 2025   08:00 Diperbarui: 16 Februari 2025   10:26 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kaligrafi Allah di tengah cinta. (Sumber: Kemenag)

Muhammad Abduh menekankan bahwa sifat-sifat Ilahi, atau Divine Attributes, tidak hanya dibuktikan melalui rasionalitas tetapi juga ditegaskan oleh hukum suci dalam Al-Qur'an (syariat). Hal ini menunjukkan bahwa, menurut Abduh, akal manusia memiliki kapasitas untuk sampai pada kesimpulan tertentu tentang sifat-sifat Tuhan, tetapi kesimpulan ini kemudian harus dikuatkan dan dilengkapi oleh wahyu yang diturunkan kepada para nabi.

Abduh menekankan bahwa terdapat beberapa sifat Tuhan yang, meskipun bisa diterima oleh akal manusia sebagai kemungkinan yang ada pada Tuhan, akal tidak mampu secara mandiri mencapai pengetahuan tentang sifat-sifat tersebut tanpa ada bimbingan wahyu. Salah satu contohnya adalah sifat "kalm" atau berbicara. Wahyu menyebutkan bahwa Allah berbicara kepada sebagian nabi dan Al-Qur'an menganggap dirinya sebagai kalm (perkataan) Allah . Sifat kalm ini adalah bagian dari esensi Tuhan yang kekal.

Abduh juga membahas sifat pendengaran dan penglihatan Allah . Al-Qur'an menyebutkan bahwa Allah adalah "Maha Mendengar dan Maha Melihat". Namun, Abduh menegaskan bahwa sifat mendengar dan melihat yang dimiliki oleh Allah tidak sama dengan manusia yang membutuhkan alat-alat fisik seperti telinga atau mata. Pendengaran dan penglihatan Tuhan adalah sesuatu yang sepenuhnya berbeda dari persepsi indrawi manusia. Oleh karena itu, meskipun akal manusia dapat menerima bahwa Tuhan mengetahui segala sesuatu yang dapat didengar dan dilihat, bagaimana sifat tersebut bekerja tetap di luar pemahaman manusia. Menurut Abduh, akal manusia hanya dapat mencapai pengetahuan tentang "aksiden" (sifat-sifat lahiriah) dari eksistensi yang dapat ditangkap oleh pancaindra, perasaan, atau intelektualitas. Dari sana, manusia dapat memahami sebab-sebab dari berbagai fenomena dan mengklasifikasikan berbagai jenis eksistensi. 

Namun, akal tidak dapat mencapai esensi dari suatu hal, karena upaya untuk memahami esensi suatu hal harus mengarah pada Esensi Murni, yang mana akal tidak memiliki akses rasional untuk menuju-Nya. Dengan kata lain, Abduh menyatakan bahwa eksistensi Tuhan sebagai Wujud Yang Mutlak Ada memang dapat dibuktikan secara rasional. 

Artinya, akal manusia dapat mencapai kesimpulan bahwa ada suatu entitas yang keberadaannya mutlak dan tidak bergantung pada apa pun, yang dikenal sebagai Tuhan. Namun, setelah itu, untuk memahami lebih jauh tentang sifat-sifat Tuhan, manusia tetaplah memerlukan panduan dari hukum suci di dalam Al-Qur'an.

Abduh menggunakan analogi cahaya sebagai contoh untuk menggambarkan keterbatasan akal manusia. Meskipun ilmu pengetahuan dapat mengatur banyak hukum tentang cahaya dan menyusunnya dalam sebuah disiplin khusus, para ilmuwan tidak bisa memahami apa itu cahaya secara esensial. Mereka hanya mengetahui apa yang dapat diketahui oleh orang awam yang menggunakan matanya.

Dalam hal ini, Abduh menjelaskan bahwa manusia memang tidak diciptakan dengan kebutuhan untuk mengetahui esensi segala sesuatu. Kebutuhan manusia hanyalah untuk mengetahui aksiden dan kualitas tertentu dari sesuatu. Pikiran (akal) yang sehat adalah pikiran yang puas dengan mengetahui hubungan kualitas-kualitas ini dengan entitas-entitas yang bersangkutan, serta dengan memahami prinsip-prinsip yang mendasari hubungan-hubungan tersebut.

Pandangan Abduh menunjukkan bahwa manusia tidak mampu memahami esensi dari Tuhan yang transenden. Abduh juga memberikan contoh tentang upaya manusia untuk memahami dirinya sendiri. Dia menunjukkan bahwa manusia telah berusaha untuk mengetahui sifat-sifat jiwanya sendiri, apakah jiwa itu aksiden atau esensi, apakah ia mendahului tubuh atau muncul setelahnya, dan apakah ia melekat pada tubuh atau berdiri sendiri. Namun, semua upaya ini berakhir pada kesimpulan sederhana bahwa manusia adalah makhluk hidup dengan perasaan dan kehendak. Semua pengetahuan lain yang diperoleh tentang manusia berasal dari aksiden yang dapat diamati, bukan dari esensi jiwanya. Manusia bahkan tidak dapat memahami dirinya sendiri secara utuh, apalagi Tuhan yang Maha Sempurna.

Setiap upaya untuk memahami hakikat Tuhan akan berakhir pada kebingungan dan ketidakmampuan total. Menurut Abduh, memikirkan hakikat Tuhan sama seperti mencoba memahami sesuatu yang tidak dapat dipahami oleh akal manusia. Abduh dengan tegas menyatakan bahwa berpikir tentang hakikat Tuhan adalah sesuatu yang terlarang dan dapat menyebabkan kekeliruan dalam keimanan. 

Manusia harus menerima bahwa ada perbedaan mutlak antara eksistensi manusia dan eksistensi Ilahi, dan Tuhan bebas dari segala bentuk yang serupa dengan makhluk-Nya. Usaha untuk memahami hakikat Tuhan akan melampaui batas kemampuan manusia dan merupakan tindakan sia-sia yang dapat mengarah pada kesesatan. 

Maka, tugas manusia, menurut Abduh, adalah hanya untuk mengenali hubungan antara berbagai aksiden dari fenomena alam dan ciptaan Tuhan, serta untuk menggunakan pengetahuan ini dalam kehidupan sehari-hari. Manusia pun seharusnya mengarahkan pemikirannya pada pemahaman tentang ciptaan Tuhan dan mengambil pelajaran dari sana.

Karena keterbatasan ini, Abduh menekankan pentingnya wahyu sebagai sumber pengetahuan tentang sifat-sifat Tuhan yang tidak bisa dijangkau oleh akal. Hukum suci di dalam Al-Qur'an, yang diturunkan melalui Nabi Muhammad, berfungsi untuk memberikan pengetahuan tambahan yang melampaui kapasitas akal manusia. Sifat-sifat Tuhan seperti kalm, pendengaran, dan penglihatan harus diterima sebagai bagian dari iman, berdasarkan otoritas wahyu, meskipun manusia tidak mampu memahaminya secara utuh. 

Abduh juga menyoroti keterbatasan bahasa dalam menangkap kebenaran hakiki tentang Tuhan. Bahkan jika kata-kata dapat digunakan untuk mendekati realitas, bahasa manusia tidak akan pernah bisa menggambarkan Tuhan dengan tepat seperti apa adanya. Bahasa manusia memiliki keterbatasan dalam menangkap dan menjelaskan kebenaran hakiki tentang Tuhan. Hal ini disebabkan oleh sifat bahasa yang bersifat konvensional dan terbatas pada pengalaman manusia. 

Bahasa diciptakan untuk menggambarkan hal-hal yang bisa dialami dan dipahami oleh manusia, tetapi Tuhan adalah entitas yang transenden dan tidak bisa dibandingkan dengan apa pun yang ada di dunia ini. Karena itu, Abduh mengkritik usaha-usaha filsuf untuk menjelaskan hakikat Tuhan dan menyarankan agar kita berpegang pada keterbatasan akal serta meminta ampunan Tuhan bagi mereka yang terlibat dalam perdebatan-perdebatan teologis yang sia-sia.

Al-Qur'an dan teks-teks suci yang pernah diwahyukan oleh-Nya selalu menggunakan bahasa yang bisa dipahami manusia untuk menyampaikan pesan-pesan tentang Tuhan. Namun, Abduh menekankan bahkan bahasa yang digunakan dalam teks-teks suci ini tidak bisa sepenuhnya mengungkapkan hakikat Tuhan yang sebenarnya. Bahasa Al-Qur'an bersifat deskriptif dan metaforis yang berguna untuk mendekatkan manusia pada pemahaman tentang Tuhan, tetapi tetap tidak mampu mengungkap esensi Tuhan yang sebenarnya.

Menurut Abduh, mencoba memahami esensi dari sesuatu merupakan pemborosan waktu dan energi, karena hal ini adalah tujuan yang tidak mungkin tercapai oleh akal manusia. Menghabiskan waktu untuk memikirkan hal-hal yang di luar kapasitas akal ini justru mengabaikan kebutuhan manusia yang lebih nyata dan mendesak. Dengan kata lain, manusia seharusnya memfokuskan energinya pada hal-hal yang lebih berguna dan dapat dipahami, seperti hubungan antara fenomena-fenomena alam atau hukum-hukum yang mengaturnya.

Abduh menyimpulkan bahwa kewajiban manusia adalah meyakini keberadaan Tuhan yang Maha Sempurna, Esa, dan memiliki sifat-sifat yang disebutkan dalam wahyu, seperti Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Mengetahui, dan Maha Kuasa. Namun, manusia tidak perlu mempersoalkan apakah sifat-sifat tersebut berbeda dari esensi Tuhan atau hanya bagian dari esensi-Nya. Perdebatan-perdebatan teologis semacam itu tidak akan membawa kepada pemahaman yang sejati dan bahkan dapat merusak iman.

Sebagai penutup, pembuktian rasional dalam hal ini memainkan peran yang dapat mengukuhkan iman seseorang. Namun, Abduh menekankan bahwa keimanan yang sejati, tidak hanya didasarkan pada akal, tetapi juga harus didasarkan pada penerimaan terhadap apa yang diwahyukan oleh Tuhan. Akal manusia seharusnya digunakan untuk memahami wahyu dan mengarahkan iman kepada pemahaman yang benar tentang Tuhan dan sifat-sifat-Nya.

Referensi

Abduh, Muhammad. The Theology of Unity (Rislat Al-Tawd). Diterjemahkan oleh Ishaq Musa'ad dan Kenneth Cragg. London: George Allen & Unwin LTD, 1966.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun