Mohon tunggu...
Daffa Binapraja
Daffa Binapraja Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir pada 25 Februari 2000, Jakarta Utara

Seorang pemuda yang menyukai fiksi ilmiah, Alternate History, dan sejarah dunia.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cerpen | Impian Robotika Ari

5 September 2019   08:22 Diperbarui: 13 September 2019   11:28 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

"Impian : (barang) yang diimpikan, barang yang sangat diinginkan"

(Kamus Besar Bahasa Indonesia)

Orangtuaku selalu berpesan kepadaku untuk memiliki impian. Impian sendiri memiliki banyak definisi dan makna.

Ada yang mengatakan impian adalah harapan, ada pula orang yang mengartikan impian sebagai cita-cita seseorang.

Aku? Aku yakin bahwa impian adalah ambisi dan keinginan seseorang dalam hidup.

Hm? Kau bertanya impianku, ya? Membahagiakan Orangtuaku dengan membangun sebuah perusahaan produksi robot pembantu rumah tangga.


Ah, aku memang ingin membangun dan memiliki sebuah perusahaan sendiri agar dapat membantu keuangan Orangtuaku di masa tua mereka, terutama Bapakku. Beliau sangat senang begitu mendengarku berhasil mewujudkan impianku.

Memang, penuh perjuangan, namun apa yang membuat perusahaan PT. Angkasa Robotika Indonesia besar adalah dukungan dari Ani dan Bapak serta pengalaman pahitku dalam mewujudkan impianku ini.

Impianku dimulai dari Sekolah Menengah Pertama Cemara. Setiap hari, aku selalu mendapatkan perundungan dari teman-temanku. Mulai dari ejekan sederhana seperti 'kurang pergaulan' hingga 'merusak' pekerjaan rumahku sehari sebelum batas waktunya.

"Hai, Autis," Kata Danu, "Lihat PRnya, dong!" Ia meminta, aku menolaknya, "Tidak,"

"Ih, pelit!" Gertak Tono, teman dekat Danu, "Sini, serahkan tasmu!"

Tasku ditarik Tono dan Danu memukuliku hingga jatuh. Tasku diacak, buku PR milikku disobek dan alat tulisku dibuang ke tempat sampah dekat lapangan sekolah. Satu alasan mengapa aku tak pernah memberikan bukuku pada mereka. Walaupun mereka sering ditegur kepala sekolah, mereka tak peduli.

Namun, mereka melakukan sesuatu yang lebih kejam pada hari itu.

Mereka menemukan cetak biru desain robotku untuk Kompetisi Sains dan Robotika Indonesia.

"Wah, apa ini? Hasil kerja Ari si Autis, ya?" Danu menunjukkan kertas itu pada Tono.

"Wuih, hebat juga kau, ya," Tono mengambil kertasnya dan mendekat kepadaku, "Kau tahu? Benda buatan autis sepertimu harusnya masuk bak sampah!"

SRET!

Cetak biru itu langsung dijadikan bahan perundungan lagi, "Pak, Ari buang sampah sembarangan, Pak!" Tono mengadu pada Pak Hakim, guru Fisika sekolah, sementara Danu membuang serpihan kertas tersebut ke tong sampah, "KETERLALUAN!" Amarah menggelegak dalam diriku dan langsung kupukul Danu hingga Ia terkapar di lantai.

Dan kami berkelahi.

Kemudian, Danu dan Tono mendapat skorsing. Anehnya, aku malah dibentak kepala sekolah dengan tuduhan melukai siswa lain dan membuang sampah sembarangan!

Setelah itu, aku berlari keluar sekolah, menangis sesenggukan, "AKU BENCI SEKOLAH INI! AKU INGIN MATI!"

Masuk rumah, aku menemui Bapakku dan menceritakan semua hal yang terjadi, wajar jika Bapakku merasa kasihan dan mulai menyembuhkan luka di wajahku. Beliau selalu mendengarkan semua keluh kesah dan menyembuhkan rasa sakit yang kupunya.

"Nak Ari, Bapak tahu kau tadi merasa sangat putus asa sampai kau ingin mati, bukan?"

Entah mengapa nada Bapak terdengar serius dan tak setenang biasanya.

"Bapak pikir, kau harus ikut Bapak, sekarang," Bapak mengajakku masuk ke dalam ruang kerja yang ada di lantai bawah rumah, "Bapak ingin menunjukkan padamu 'seorang' teman untukmu," Aku jadi bertambah bingung.

Ruang itu terlihat sederhana, namun canggih pada saat bersamaan. Ruang persegi-panjang itu memiliki deretan komputer di sisi kanan dan kiri ruangan. Bapak menekan sebuah tombol di sisi kanan pintu dan seluruh alat elektronik di dalamnya menyala, lampu neon berwarna-warni berpendar terang dan mesin komputer mengeluarkan suara kipas pendingin di dalamnya.

Apa yang menarik perhatianku adalah sebuah benda, tidak, sebuah robot dengan tampilan seperti gadis sebaya di tengah ruangan.

"Perkenalkan, ini Ani, Ia akan selalu mendampingimu di rumah. Bapak sengaja membuatnya untukmu," Ucap Bapak sembari menunjuk robot yang ada di tengah ruangan, "Ani, bangunlah!"

Mata coklat itu mulai menatapku dan Bapak, "Inikah Tuan Ari, Pak Hamid?" Tanya gadis dengan rambut panjang berwarna hitam itu pada Bapak, "Ya, Ani. Ini Ari, Ia sangat membutuhkan bantuan dan dukungan hidup darimu,"

"Dimengerti, Tu-Eh, maaf, Pak Hamid," Jawab Ani sembari sedikit tersenyum, "Tuan Ari, bagaimana kalau kita pergi ke Taman Mawar?"

"Eh, tunggu dulu!" Asli, ini masih terlalu cepat bagiku beradaptasi dengan robot buatan Bapak, "Sebenarnya, aku punya beberapa pertanyaan-"

"Bagaimana kalau kita jawab semuanya di Taman?" Bapakku langsung memberikan saran sebelum aku sempat bertanya, "Eh, baiklah,"

Sesampainya di Taman, Bapak mulai memperbaiki pompa air Taman karena seorang petugas taman meminta tolong pada beliau. Bapak meninggalkan kami berdua dan Ani membuka percakapan denganku.

"Tuan Ari, kudengar dari Bapakmu, Tuan mau ikut Kompetisi Sains dan Robotika Indonesia, bukan?" Tanya Ani, "Ya," Kujawab singkat, "Tapi, aku sudah tak berminat lagi. Cetak biruku saja sudah dihancurkan 'teman'. Lalu, mengapa aku harus lanjut? Pada akhirnya, lingkungan sekolah tak mau berbicara denganku karena sering terfokus pada cara belajar dan memenangkan kompetisi itu. Buat apa melanjutkannya jika tak ada yang mendukungku?"

"Tuan Ari, aku tahu Ibumu telah lama meninggal-"

"Ani, dengan hormat, bisakah kita tak membicarakan Ibuku dan panggil aku 'Ari'?"

"Aku paham, Ari. Tetapi, kau masih ingat impianmu, 'kan?"

"Ani. Tak ada gunanya pula kau terus mencoba sesuatu yang selalu berujung kegagalan. Lagipula, mengapa kau memintaku mengingat impianku? Aku agak bingung,"

"Ya ampun," Ani tersenyum, "Maksudku, kau mengikuti lomba itu untuk membahagiakan Orangtuamu, terutama..." Ani sempat menjentikkan jarinya, "Aha! Bagaimana kalau kita buat robotnya bersama? Sebentar lagi, Kompetisinya dimulai dan kita berbagi tugas. Kau bisa membuat cetak birunya, aku buatkan robotnya. Bagaimana?"

"Aku tahu kau tak hanya ingin membahagiakan Orangtuamu, karena dengan memenangkan kompetisi itu, kita bisa membangun perusahaan produksi robot impianmu dengan hadiah lomba senilai 20 juta Rupiah untuk pemenang pertama. Ayo, kita gapai impian itu bersama, kau tak sendiri sekarang karena ada Bapak dan Aku, Ani,"

Ini.....Inilah hal yang kutunggu seumur hidupku, di mana sebelumnya aku harus berjuang sendirian dalam membangun impian memiliki perusahaan yang dapat membantu orang lain.

"Bapak sudah tahu dan melihat usahamu selama ini, dan aku merasa senang mendengarnya," Ani menatapku lagi setelah sebelumnya melihat ke bawah, "Aku yakin, jika kita bekerja sama bagai kumpulan mekanisme dalam sebuah robot, kita bisa menggapai impian kita bersama. Kau memimpikan perusahaan robot, aku memimpikan kebahagian Tuan,"

Setelah Ani selesai berbicara, Bapakku datang dan bertanya padaku, "Bagaimana perasaanmu sekarang, Nak Ari?" Bapakku bertanya demikian seakan itu adalah pertanyaan retoris.

"Bahagia dan kembali bersemangat, Pak!" Bapak dan Ani ikut tersenyum, "Bapak sebenarnya sudah tahu kau bekerja keras di dalam kamarmu setiap tengah malam dalam merancang dan membuat robot. Jadi, Bapak membuatkan Ani sebagai temanmu di dalam rumah dan asistenmu dalam pekerjaanmu, Nak,"

"Terima kasih, Pak!" Aku langsung memeluk Bapakku, "Sekarang, mari kita bekerja," Ucap Bapak.

Sebulan kemudian, aku berhasil menjadi juara kedua dari lomba itu dan mendapat 15 juta Rupiah sebagai hadiahnya. Walaupun tak mendapat juara pertama, aku merasa bahagia.

Bukan hanya karena ini pertama kalinya aku memenangkan sebuah kompetisi nasional.

Namun karena aku memenangkan ini bersama Bapak dan Ani. Dengan kemenangan ini, seorang juri sekaligus insinyur robot dari Tegal bernama Pak Hilman Winarso mendatangiku.

"Permisi, Dik," Ucap beliau, "Apakah Adik bernama Adi Angkasa?"

"Oh, bukan, Pak. Saya Ari Angkasa," Kami berempat tertawa, "Waduh, rupanya saya salah menyebut nama Adik," Beliau lanjut tertawa.

"Begini, Dik. Saya ingin menawarkan kepada Adik kerja sama dengan PT. Winarso Elektrindo dalam produksi robot pembantu rumah tangga. Nanti, adik bisa belajar cara membuat pabrik sendiri dan melihat cara kami mengelola perusahaan. Mulai dari produksi sampai penjualan, dari pengoperasian mesin produksi dalam pabrik hingga mengelola para pekerja. Bagaimana? Adik tertarik?"

Tanpa tanda tanya, langsung kuterima, "Siap, Pak! Saya tertarik bekerja sama dengan Bapak!"

7 Tahun kemudian, aku dan Ani telah membangun apa yang kalian kenal sebagai PT. Angkasa Robotika Indonesia seperti yang telah kusebutkan sebelumnya. Setiap bulannya, 300.000 unit robot pembantu rumah tangga dibuat di pabrik pusat, tepat di Jakarta Utara.

Itu baru pabrik Jakarta Utara, aku bahkan belum menyebutkan cabang lain yang tak hanya tersebar di Indonesia namun juga siap dibangun di Malaysia, Brunei, dan Singapura.

Sebut saja Kota Bugis, Singapura. Rencananya, sebuah kantor pemasaran akan dibangun di sana dengan bantuan dari Pak Hilman. Tak lupa pula di Selangor, Malaysia, Tempat produksi sudah selesai dibangun. Semuanya dengan bantuan Pak Hilman dan jaringan bisnisnya.

"Syukurlah, impianku tercapai, Ani," Kupandang gedung besar dengan cat biru muda dan hijau muda di depanku bersama Ani, inilah gedung pabrik produksi Rancaekek di Bandung.

"Terima kasih, Bapak. Aku tahu Bapak sekarang berada di Jakarta Selatan dan sedang beristirahat di rumah sakit. Namun, aku juga tahu jika beliau sekarang senang karena pengobatannya kubiayai dan sedih pada saat bersamaan karena dalam waktu lama aku tak akan bertemu Bapak karena adanya proyek yang harus diselesaikan di Singapura."

"Aku senang mendengarnya, Ari. Akhirnya semua pengalaman pahitmu selama di SMP Cemara terbayar dengan ini. Bahkan, kudengar Danu dan Tono yang pernah merundungmu sekarang mencari kerja di perusahaan kita, tepatnya di Rancaekek, sebagai permohonan maaf mereka padamu karena mereka pernah merundungmu dan sekarang tengah kesulitan mencari kerja," Kata Ani.

"Masukkan mereka jika mereka memenuhi syarat, aku tak mau melihat mereka mengalami apa yang kualami dan....Kehilangan semangat hidup mereka," Ya, aku membayangkan mereka putus asa dan benar-benar tak tahu harus melakukan apa lagi dalam hidup mereka.

"Itulah Tuan Ari yang kutahu!" Ani mengatakannya dengan wajah ceria.

"Ayolah, kau hanya perlu menyebutku 'Ari' dan kau tahu itu,"

"Tak mau!" Ani tertawa, dan aku langsung mengejarnya dengan penuh canda tawa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun