Mohon tunggu...
Daffa Ardhan
Daffa Ardhan Mohon Tunggu... Freelancer - Cerita, ide dan referensi

Menulis dalam berbagai medium, bercerita dalam setiap kata-kata. Blog: http://daffaardhan.com

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Berhemat dalam Batas Wajar

23 Januari 2020   13:35 Diperbarui: 23 Januari 2020   13:45 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada prakteknya, hidup hemat itu memang susah. Prilaku hedonis dan konsumerisme yang tinggi jadi budaya yang susah dihilangkan.

Ada yang bilang, orang chinese atau mereka yang punya darah keturunan tionghoa itu rata-rata pelit. Padahal itu stereotip yang salah. Kenyatannya, banyak juga dari mereka yang loyal soal uang. Tidak segan mengeluarkan isi dompetnya untuk orang yang mereka anggap loyal juga.

In real life, saya sering disama-samakan dengan orang chinese. Bukan karena fisiknya, tapi karena cara saya mengatur uang yang mirip seperti stereotip mereka. Padahal saya tidak pelit, tapi hemat. Atau lebih tepatnya sangat memperhitungkan mana uang yang masuk dan mana uang yang keluar dari isi dompet saya.

Sehemat-hemat saya, tapi tidak akan melebihi kehematan teman saya yang biasa beli satu ayam serundeng, lalu serundengnya disimpan untuk makan siang dan malam. Jadi dia tidak usah mengeluarkan uang lagi untuk 3 kali makan dalam sehari.

Tapi saya rasa dia bukan hemat, tapi lebih ke miskin campur melarat. Meskipun saya meledeknya, toh pada akhirnya saya ikut-ikutan juga.

Faktanya, serundeng ayam itu memang enak. Apalagi kalau di campur nasi + kerupuk. Itu perpaduan yang nikmat.

Nikmatnya sama seperti makan nasi panas, telor cemplok dan kerupuk di campur sambal terasi. Nikmat luar biasa. Jadi, pada dasarnya saya dan teman saya memang berbakat jadi orang susah.

Kadang, saya kesal kalau melihat orang yang hidupnya lebih besar pasak daripada tiang. Saya suka mikir, kenapa mereka bisa maksa ingin hidup senang dengan cara berutang? Padahal kalau bisa menahan diri dari segala keinginan, mereka tidak akan dipusingkan dengan utang.

Ini konteksnya beda ya dengan utang untuk keperluan bisnis. Kalau itu utang yang masih bisa dimaafkan. Tapi kalau utang untuk memenuhi keinginan saja, sampai kapanpun tidak ada ujungnya.

Malah akan membuat hidup makin sengsara. Dililit hutang itu tidak enak. Bikin setres, banyak pikiran. Keluarga saya pernah ada di posisi itu dan mungkin itu yang jadi salah satu alasan kenapa saya berusaha mengubah mindset saya soal uang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun