Mohon tunggu...
Daffa Andika
Daffa Andika Mohon Tunggu... Mahasiswa Teknik Informatika

Lebih menyukai olahraga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Menggabungkan Machine Learning dan RPL: Menyatukan Dua Dunia yang Berbeda

3 Mei 2025   14:45 Diperbarui: 3 Mei 2025   13:32 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: SBIT Training Academy

Di era di mana machine learning (ML) menjadi inti dari banyak aplikasi teknologi mutakhir, pertanyaan besar muncul: bagaimana praktik terbaik dalam rekayasa perangkat lunak diterapkan dalam proyek-proyek berbasis ML? Apakah prinsip-prinsip seperti version control, pengujian unit, dan dokumentasi tetap relevan di tengah model-model statistik dan pelatihan berbasis data?

Artikel yang ditulis oleh Serban et al. (2020) berjudul "Adoption and Effects of Software Engineering Best Practices in Machine Learning" membongkar isu ini melalui survei terhadap 313 profesional yang terlibat dalam proyek ML. Hasilnya mencerminkan kenyataan yang cukup memprihatinkan---meski industri software telah berkembang dengan praktik yang matang, proyek-proyek ML justru menunjukkan adopsi yang terbatas terhadap prinsip rekayasa perangkat lunak yang seharusnya sudah menjadi standar.

Dalam temuan mereka, hanya sebagian kecil responden yang menerapkan praktik-praktik penting seperti unit testing, code review, dan CI/CD secara konsisten dalam proyek ML. Salah satu alasan utama adalah karena banyak tim ML berasal dari latar belakang ilmu data, bukan ilmu komputer atau rekayasa perangkat lunak. Akibatnya, fokus mereka lebih pada model dan eksperimen daripada kualitas kode atau pengelolaan proyek secara struktural.

Pengujian unit, misalnya, yang telah menjadi fondasi dalam pengembangan perangkat lunak konvensional, dianggap tidak langsung relevan dalam proyek ML. Karena sistem ML menghasilkan keluaran berdasarkan statistik dan distribusi data, maka sulit menguji 'kebenaran' seperti dalam sistem deterministik. Tapi ini bukan berarti tidak bisa. Pengujian dalam ML harus berevolusi ke arah data-centric testing, validasi terhadap bias, model drift, dan kesalahan akurasi yang tidak langsung terlihat.

Serban dkk. juga mengangkat isu penting lainnya: kurangnya versioning terhadap dataset dan model. Tanpa version control, sangat sulit untuk melacak perubahan, mereproduksi hasil, atau mengevaluasi model secara berulang. Dalam konteks profesional, ini bisa berbahaya---khususnya untuk sistem yang digunakan di bidang sensitif seperti kesehatan, keuangan, atau keamanan publik. Dengan tidak adanya audit trail, maka akuntabilitas menjadi kabur.

Kekosongan ini menciptakan tantangan etis sekaligus profesional. Jika sebuah model mengambil keputusan yang berdampak besar, maka kejelasan proses dan dokumentasi sangatlah penting. Namun praktik yang buruk dalam dokumentasi dan pengelolaan eksperimen model membuat pengujian ulang dan perbaikan menjadi sulit, bahkan tidak mungkin. Ini bukan hanya soal teknis, tetapi soal kepercayaan dan tanggung jawab.

Di sinilah letak pentingnya integrasi budaya antara dunia ilmu data dan rekayasa perangkat lunak. Profesional perangkat lunak perlu mulai memahami alur kerja machine learning, dan sebaliknya, ilmuwan data perlu menyerap prinsip-prinsip dasar engineering yang menjamin keberlanjutan dan keandalan sistem. Alat bantu seperti MLflow, DVC (Data Version Control), dan kedisiplinan dalam penggunaan Jupyter Notebook dengan metadata tracking adalah contoh jembatan awal antara dua domain ini.

Tidak hanya itu, organisasi juga harus mengambil peran aktif dalam membentuk kompetensi lintas-disiplin. Pelatihan untuk insinyur agar memahami dasar-dasar model prediktif, serta pelatihan ilmuwan data dalam hal versioning, testing, dan struktur kode modular menjadi langkah strategis jangka panjang.

Masalah lainnya yang disorot oleh artikel ini adalah keterbatasan collaboration tooling. Banyak alat bantu software engineering seperti Jenkins, Git, atau SonarQube tidak dioptimalkan untuk proyek ML. Hal ini menimbulkan hambatan praktis. Di sisi lain, alat seperti TensorBoard atau Weights & Biases sering kali fokus pada pemantauan eksperimen, tapi kurang kuat dalam pengelolaan proyek secara holistik.

Jelas bahwa kebutuhan akan alat baru dan metodologi hibrida sangat mendesak. Kita membutuhkan framework engineering yang memperlakukan model ML bukan sebagai artefak satu kali pakai, tetapi sebagai entitas lunak yang harus diuji, dipelihara, dan didokumentasikan sepanjang siklus hidupnya. Pendekatan MLOps mulai menjawab ini, tetapi penerapannya masih terbatas secara global.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun