Mohon tunggu...
Nur Terbit
Nur Terbit Mohon Tunggu... Jurnalis - Pers, Lawyer, Author, Blogger

Penulis buku Wartawan Bangkotan (YPTD), Lika-Liku Kisah Wartawan (PWI Pusat), Mati Ketawa Ala Netizen (YPTD), Editor Harian Terbit (1984-2014), Owner www.nurterbit.com, Twitter @Nurterbit, @IniWisataKulin1, FB - IG : @Nur Terbit, @Wartawan Bangkotan, @IniWisataKuliner Email: nurdaeng@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Berpuasa ala "Musafir" Bekasi - Jakarta

27 April 2022   13:26 Diperbarui: 27 April 2022   15:34 903
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Teman-teman "mukimin" saya waktu umroh 1996, saat di Mina, Saudi Arabia (foto dok: Nur Terbit)

Tapi dalam ajaran Islam, jelas ada cara menggantikan puasa bagi orang mushafir. Yakni dengan cara melaksanakan puasa ganti pada hari setelah bulan Ramadhan, dan bukan pada tanggal yang dilarang untuk berpuasa.

Dalil tentang kewajiban menggantikan puasa bagi mushafir yang berbuka puasa pada bulan Ramadhan, ada saya temukan di Al Qur'an pada Surah Al Baqarah (Sapi Betina) ayat 184.

"Maka barangsiapa di  antara kamu sakit atau dalam  perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti)  sebanyak hari (yang tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain".

"Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar  fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui".

Apa tujuan seorang musafir?
Jawabannya adalah orang yang bepergian dengan tujuan tertentu, tujuannya bukan untuk maksiat, melainkan tujuan yang sesungguhnya bagi seorang muslim tujuan akhirnya adalah surga sebagai tempat tinggal abadinya.

Bagi orang yang berpergian jauh atau "musafir" antara membatalkan puasa dan tetap berpuasa, hal tersebut manakah yang paling utama? Ini pertanyaan juga bagi saya.

Seseorang disebut sebagai "musafir" jika memenuhi tiga syarat, yaitu: Jarak perjalanannya sekitar 85 km atau lebih, dan juga ketika seseorang telah keluar dari daerah atau provinsinya.

Ia tidak berniat untuk menetap lebih dari empat hari. Jika ia menetap, maka bukan "musafir" lagi namanya. Mungkin lebih tepat disebut "mukimin", alias orang yang bermukim di satu tempat dalam waktu tertentu.

Misalnya lagi sekolah, tugas belajar, atau seorang tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. Di musim haji atau umroh, kita banyak bertemu "mukimin" di Mekah atau Medinah, Saudi Arabia.

Teman-teman
Teman-teman "mukimin" saya waktu umroh 1996, saat di Mina, Saudi Arabia (foto dok: Nur Terbit)

"Musafir" atau orang yang sedang melakukan perjalanan, memang diberikan keringanan untuk tidak berpuasa. Salah satu keringanan bagi "musafir" adalah boleh berbuka ketika bulan Ramadhan.

"Musafir" mendapatkan keringanan itu jika dalam kondisi berat untuk berpuasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun