Mohon tunggu...
Nur Terbit
Nur Terbit Mohon Tunggu... Jurnalis - Pers, Lawyer, Author, Blogger

Penulis buku Wartawan Bangkotan (YPTD), Lika-Liku Kisah Wartawan (PWI Pusat), Mati Ketawa Ala Netizen (YPTD), Editor Harian Terbit (1984-2014), Owner www.nurterbit.com, Twitter @Nurterbit, @IniWisataKulin1, FB - IG : @Nur Terbit, @Wartawan Bangkotan, @IniWisataKuliner Email: nurdaeng@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Berpuasa ala "Musafir" Bekasi - Jakarta

27 April 2022   13:26 Diperbarui: 27 April 2022   15:34 903
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PENGALAMAN BERPUASA ALA 'MUSAFIR' 

Dengan pertimbangan jalan macet, saya akhirnya memilih menggunakan sepeda motor dalam perjalanan sore itu, Selasa 26 April 2022, dari Bekasi ke Jakarta, menjelang berbuka puasa Ramadhan.


Sepanjang jalan, suasana jalur Kota Bekasi - Jakarta (Timur) bagai "pasar tumpah" seperti kondisi saat ini di jalur Pantura (Pantai Utara). Berderet penjual takjil untuk buka puasa. Mobil dan motor mampir berbelanja, jalan pun menyempit. Kendaraan merayap.

Bedug Magrib masih satu jam lagi. Tapi suara orang mengaji dari sejumlah speaker musholah dan masjid, terdengar sayup-sayup. Terasa makin jauh perjalanan dari Bekasi.

Tapi juga makin terasa dekat suasana lebaran. Di perjalanan Bekasi - Jakarta, saya berpapasan rombongan konvoi kendaraan, terutama pemotor, yang mau mudik. Arus kendaraan pun kian merayap.


Mendekati stasiun kereta api Klender Baru, Jakarta Timur, terlihat makin banyak kendaraan mobil dan motor berhenti. Apa di depan jalan macet?

Gaya
Gaya "musafir" Bekasi - Jakarta (foto dok: Nur Terbit)
Rupanya bukan. Mereka adalah  para golongan "MUSAFIR" - istilah bagi mereka yang melakukan satu perjalanan -- mampir berbuka puasa di tepi jalan, menyusul terdengar adzan Magrib berkumandang.

Apa yang dimaksud dengan musafir? Saya menemukan jawabannya di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), juga menyelusuri literatur dalam Al Qur'an dan Hadits.

Kata "musafir" diartikan sebagai "orang yang bepergian meninggalkan negerinya (selama tiga hari atau lebih) untuk mengembara."

Dalam pandangan hukum Islam, "musafir" adalah orang yang meninggalkan tempat tinggalnya dalam jarak tertentu dan berniat tinggal di tempat yang dituju dalam waktu tertentu.

Saya sendiri melakukan perjalanan Bekasi - Jakarta, tidak sampai menginap, atau "tinggal di tempat yang dituju dalam waktu tertentu". Sekedar janjian dengan "klien" di Jakarta. Sesudah ketemu, ngobrol sedikit, balik lagi ke Bekasi.

Dalam perjalanan ke Jakarta inilah, saya mampir membatalkan puasa di perjalanan. Beruntung, ada mesjid NURURROHMAN di tepi jalan I Gusti Ngurah Rai, Pondok Kopi, Duren Sawit, Jakarta Timur itu. Alhamdulillah, bisa sekalian sholat jamaah Magrib, pikir saya.

Di halaman mesjid ini, berdiri tenda hijau. Di bawahnya duduk berderet di atas bangku plastik para orang tua, remaja bahkan anak-anak menikmati takjil buka puasa. Berbagai jenis minuman dan gorengan memenuhi meja panjang.

Saya jadi teringat pesan istri di rumah, di Bekasi, saat saya tadi mau berangkat menuju Jakarta. 

"Pah, kalau kebetulan di jalan sudah waktunya berbuka, cari masjid dan berhenti di sana," kata istri.

Oh iya, itu pasti, mampir sholat Magrib kan maksudnya?, kata saya.

"Termasuk itu juga. Tapi yang lebih penting, bisa mampir berbuka puasa secara gratis haha....," kata istri saya. Saya maklum, pemikiran emak-emak yang kadang luput dari perhatian babeh-babeh hehe...

Benar juga. Ada lebih dari 50-an "musafir" -- di luar anggota jamaah masjid setempat -- yang ikut "bukber" dari takjil yang disediakan panitia.

Alhamdulillah, semoga kebaikan jamaah dan pengurus DKM NURURROHMAN ini mendapat pahala atas kebaikannya menyiapkan takjil berbuka puasa bagi para "musafir".

Foto

Buka puasa sesama kaum
Buka puasa sesama kaum "musafir" di masjid NURURROHMAN, Pondok Kopi, Jaktim (foto: Nur Terbit)
Bedanya, kalau zaman Rasulullah, "musafir" itu umumnya naik Onta. Kalau saya, naik "Onta besi" alias sepeda motor. Beda-beda tipis, dan beda-beda zaman hehe...

Selesai berbuka, juga tentu saja selesai wudhu, saya langsung masuk ke dalam masjid, berbaur dengan jamaah yang sudah siap menunaikan sholat jamaah Magrib.

***

Sebenarnya, orang yang sedang menjalankan "safar" sebagai  "musafir" adalah termasuk salah satu golongan yang diberi keringanan oleh Allah untuk tidak berpuasa. Golongan lainnya adalah wanita hamil dan menyusui.

Dalilnya yang saya temukan adalah:

"Sesungguhnya Allah 'azza wa jalla meringankan setengah salat untuk musafir dan meringankan puasa bagi musafir, wanita hamil dan menyusui." (HR. An Nasai, Ibnu Majah, dan Ahmad. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).

Hadits ini merupakan dalil bahwa "musafir" boleh berbuka sebelum dia pergi "bersafar". Inilah hukum puasa bagi "musafir". Jadi, jika dengan berpuasa dapat menimbulkan bahaya pada diri kamu, maka puasa diharamkan baginya.

Selain itu, jika kamu belum memenuhi persyaratan diperbolehkannya tidak berpuasa bagi musafir, maka kamu wajib berpuasa.

Berapa jauh perjalanan boleh disebut "musafir"? Dari hasil penelusuran literatur itu, saya menemukan jawaban bahwa: "Musafir atau dalam perjalanan dengan jarak yang ditempuh telah mencapai 81 kilometer".

Nah, bagaimana dengan saya yang "musafir"-nya hanya dari Bekasi ke Jakarta?

Jarak Bekasi - Jakarta memang tidak sampai 81 kilometer, bisa ditempuh dalam waktu 1-2 jam. Tapi jika tiba saatnya arus lalulintas macet, misalnya saat jelang buka puasa, di mana banyak orang "ngabuburit" di perjalanan, maka waktu tempuh bisa lebih dari 1-2 jam.

Bagaimana "musafir" mengganti puasanya?

Lagi-lagi saya tidak termasuk "musafir" seperti dalam pandangan hukum Islam. Setidaknya bukan orang yang  "meninggalkan tempat tinggalnya dalam jarak tertentu dan berniat tinggal di tempat yang dituju dalam waktu tertentu".

Buka

Buka puasa dengan teman-teman lawyer (foto dok Nur Terbit)
Buka puasa dengan teman-teman lawyer (foto dok Nur Terbit)
Maka, bagi saya sendiri, tetap harus berpuasa dan...mampir ke masjid untuk berbuka puasa "gratis", sekaligus numpang sholat Magrib berjamaah. Iya kan?

Tapi dalam ajaran Islam, jelas ada cara menggantikan puasa bagi orang mushafir. Yakni dengan cara melaksanakan puasa ganti pada hari setelah bulan Ramadhan, dan bukan pada tanggal yang dilarang untuk berpuasa.

Dalil tentang kewajiban menggantikan puasa bagi mushafir yang berbuka puasa pada bulan Ramadhan, ada saya temukan di Al Qur'an pada Surah Al Baqarah (Sapi Betina) ayat 184.

"Maka barangsiapa di  antara kamu sakit atau dalam  perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti)  sebanyak hari (yang tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain".

"Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar  fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui".

Apa tujuan seorang musafir?
Jawabannya adalah orang yang bepergian dengan tujuan tertentu, tujuannya bukan untuk maksiat, melainkan tujuan yang sesungguhnya bagi seorang muslim tujuan akhirnya adalah surga sebagai tempat tinggal abadinya.

Bagi orang yang berpergian jauh atau "musafir" antara membatalkan puasa dan tetap berpuasa, hal tersebut manakah yang paling utama? Ini pertanyaan juga bagi saya.

Seseorang disebut sebagai "musafir" jika memenuhi tiga syarat, yaitu: Jarak perjalanannya sekitar 85 km atau lebih, dan juga ketika seseorang telah keluar dari daerah atau provinsinya.

Ia tidak berniat untuk menetap lebih dari empat hari. Jika ia menetap, maka bukan "musafir" lagi namanya. Mungkin lebih tepat disebut "mukimin", alias orang yang bermukim di satu tempat dalam waktu tertentu.

Misalnya lagi sekolah, tugas belajar, atau seorang tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. Di musim haji atau umroh, kita banyak bertemu "mukimin" di Mekah atau Medinah, Saudi Arabia.

Teman-teman
Teman-teman "mukimin" saya waktu umroh 1996, saat di Mina, Saudi Arabia (foto dok: Nur Terbit)

"Musafir" atau orang yang sedang melakukan perjalanan, memang diberikan keringanan untuk tidak berpuasa. Salah satu keringanan bagi "musafir" adalah boleh berbuka ketika bulan Ramadhan.

"Musafir" mendapatkan keringanan itu jika dalam kondisi berat untuk berpuasa.

Dalam Al-Qur'anulkarim "Al-Amzar" (CahayaQur'an) disebutkan asbabun nuzul dari di Al Qur'an Surah Al Baqarah (Sapi Betina) ayat 184 tersebut -- yakni tentang kewajiban menggantikan puasa bagi mushafir yang berbuka puasa pada bulan Ramadhan.


Kitab Al-Amzar (foto : Nur Terbit)
Kitab Al-Amzar (foto : Nur Terbit)
Penjelasan asbabun nuzulnya sebagai berikut:

"Dari Mujahid, ayat 184 ini diturunkan pada Qais bin as-Syu'aib yang sudah sangat tua tetapi memaksa tetap berpuasa. Lalu, Qais tidak berpuasa dengan konsekuensi memberi makan satu orang miskin setiap harinya (HR. Ibnu Sa'ud).

Jadi kesimpulannya, meskipun saya sudah menempuh perjalanan sebagai "musafir" dari Bekasi ke Jakarta, lalu balik lagi dari Jakarta ke Bekasi yang jaraknya kurang dari 81 kilometer, menurut saya sendiri sih, tetap harus puasa.

Itu menurut saya pribadi loh...Anda punya pendapat lain? Monggo, silahkan!

Allahu Akbar !
#nurterbit Selasa 26 April 2022.

Salam : NURTERBIT
(Wartawan Bangkotan).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun