Rumah di pojok perumahan BTN itu, kini sepi seolah tak berpenghuni. Jika malam hari, hanya terlihat sinar lampu penerangan kecil. Menyebar sinarnya yang redup ke sekeliling teras rumah.
Pagar besi yang sudah berkarat, terlihat selalu tertutup rapat. Demikian pula pintu ruang tamu dan jendela kamar. Tak terdengar suara sedikitpun aktivitas penghuni rumah.
Hanya pada siang hari, sesekali terlihat anak laki-laki bujangan, keluar mendorong kursi roda. Di atas kursi roda, seorang nenek seolah pasrah. Mengikuti ke mana arah kursi roda itu digerakkan oleh si bujang.
"Nenek mau ke mana?"
"Mau cari angin, gak betah di dalam rumah melulu", kata Heri, si bujang, sambil mendorong kursi roda si nenek.
Kursinya baru berhenti di dorong, persis di depan sebuah warnet, tempat si bujang bekerja sebagai penjaga warnet.Â
Heri masuk ke warnet dan si nenek ikut bergabung dengan ibu-ibu di sana. Mereka menghadap meja penjual nasi uduk. Mereka pun asyik ngobrol ala emak-emak.
Dan dari warnet inilah, si bujang mendapat honor untuk menghidupi dirinya, dan si nenek. Sesekali, nenek mendapat bantuan anak-anaknya, juga kepedulian tetangga.
Saya memaklumi. Si Nenek mungkin bete' di rumah. Anak-anak nenek yang semuanya ada 7 orang, sudah berumah tangga dan memisahkan diri. Tinggal si bujang bertahan menemani nenek di rumah.
Karena itu, ia minta anak bujangnya untuk diajak keluar rumah dengan kursi dorong. Di rumah pojok BTN itu, hanya si nenek dan si bujang sebagai penghuninya.
Sejak kakek meninggal beberapa tahun lalu, keceriaan dan keriuhan suasana rumahpun berganti. Tak ada lagi kesibukan bongkar-pasang mesin mobil di halaman rumah, yang disulap jadi bengkel tempat kerja sehari-hari sang kakek.Â
Deru mesin mobil pun tak terdengar lagi. Yang ada hanya bunyi kursi roda yang didorong keluar-masuk pintu ruang tamu.Â