Mohon tunggu...
Daan Andraan
Daan Andraan Mohon Tunggu... Pramusaji - Pembaca

Seorang pembaca.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Menemukan Tahok, Jejak Budaya Kuliner Tionghoa di Kali Pepe

22 Desember 2018   15:24 Diperbarui: 23 Desember 2018   01:48 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mendapatkan info dari Google kalau Prasasti Bok Teko berada di pinggir sungai di daerah Sudiroprajan dan dekat dengan Pasar Gede Solo, satu satunya sungai yang melintasi Sudiroprajan itu Kali Pepe, jadilah pagi itu kembali menyusuri Kali Pepe. Sebelumnya,  beberapa waktu yang lalu juga pernah menyusuri Kali Pepe dari Stasiun Balapan sampai ke wilayah Puro Mangkunegaran.

Kenapa sih seneng banget nyusurin sungai?

Karena sungai sebagai salah satu unsur pembentuk budaya budaya, yang mana budaya budaya itu menjadi identitas suatu wilayah dan menjadi peradaban.

Penelusuran dimulai dari jembatan di Jl. Urip Sumoharjo di antara Pasar Gede dan Tugu Pemandengan, Tugu Pemandengan ini titik kosmologi di Kasunanan Surakarta mirip dengan Tugu Jogja di Kesultanan Yogyakarta. Mengambil jalan ke arah Timur, menyusuri pinggiran Kali Pepe yang tertata rapi dengan taman taman kecil.

Tampak di seberang Kali, sebelah Selatan, tembok dari Benteng Vastenburg yang dibangun tahun 1745 oleh VOC untuk mengawasi Kraton Surakarta. Setelah kurang lebih 200 meter melewati jembatan di Jl. Kapten Mulyadi tersadar belum juga melihat patok  tanda Prasasti Bok Teko, bertanya ke penduduk sekitar pun tak menghasilkan jawaban yang berarti.

Langkah kaki berbalik arah kembali menuju jembatan di Jl. Kapten Mulyadi. 

Di depan toko obat herbal "Kretek Gantung" di samping jembatan langkah kaki terhenti, bingung, ke kiri menyeberangi jembatan ke arah Loji Wetan atau ke kanan ke arah Balong? Tapi ketika mata tertuju ke arah gerobak penjual es dawet, langkah kaki segera menuju kesana.

Ternyata bukan penjual es dawet, tapi penjual Tahok. 

Ada rasa asin yang samar hilang setelah sendok pertama Tahok tercecap di lidah, dan kemudian Tahok lumer di mulut bersama rasa manis sirup gula putih dan pedas ringan jahe serta aroma sereh pandan, semua rasa seimbang, lembut - ringan tanpa ada yang mendominasi.

Sambil menikmati semangkok Tahok seharga 7000 rupiah ini, Pak Wagiman, sang penjual Tahok berumur 70 tahun yang sudah 50 tahunan berjualan Tahok, bercerita bagaimana cara membuat Tahok. 

Dari proses merendam kacang kedelai semalaman agar kulitnya lepas, kemudian menggiling kedelai tersebut dan menjadi bubur yang kemudian disaring untuk mendapatkan sari kedelai. Proses selanjutnya direbus dan dicetak, di mana pada proses merebus ditambahkan bahan rahasia agar Tahok tetap padat tapi bertekstur lembut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun