Mohon tunggu...
Diah Utami
Diah Utami Mohon Tunggu... Administrasi - Pengamat

Warga dunia biasa yang masih suka hilang timbul semangat menulis dan berceritanya. Berharap bisa menebar sepercik hikmah di ruang maya kompasiana. Semoga berkah terlimpah untuk kita, baik yang menulis maupun membaca.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Puasa dan Hari Raya di Negeri Sakura

6 Agustus 2011   10:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:02 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selama 1,5 tahun, saya pernah mengalami tinggal di Jepang. Selama rentang waktu tersebut, saya mengalami dua kali Ramadhan dan Idul Fitri. Berada di lingkungan yang mayoritas non-muslim bahkan nyaris non-agamis membuatku sungguh merasa rindu suasana Islami di tanah air. Tak pernah mendengar ramainya anak-anak yang keliling kampung untuk membangunkan sahur, tak ada kumandang adzan maghrib yang ditunggu-tunggu sebagai tanda usainya puasa, sedangkan shalat tarawih yang biasanya dilakukan secara berjamaah di masjid-masjid, di sana sulit dilakukan karena memang jamaahnya tidak berkumpul di satu tempat dan satu waktu. Komunitas Indonesia pada saat itu sangat sedikit. Dalam masa 6 bulan pertama masa tinggal saya di sana, hanya ada saya dan Faried, seorang mahasiswa program doctoral yang menjadi warga Indonesia di sana. Sebetulnya ada beberapa trainee lain yang sempat saya temui, namun kami tinggal di tempat yang saling berjauhan. Beberapa mahasiswa Malaysia menjadi kawan yang cukup akrab, terutama karena kemiripan budaya dan bahasa yang kami miliki.

Ramadhan pertama di sana, saya jalani nyaris tanpa kesan. Sahur dan berbuka dijalani sendiri, atau kadang bersama seorang muslimah Tunisia yang menjadi tetangga di asrama untuk mahasiswa asing yang dimiliki oleh kampus Universitas Gunma. Saat Idul Fitri, sedih sekali karena kami tidak bisa libur dari kegiatan kampus. Saat itu kami sedang menjalani masa belajar bahasa Jepang, dan kami mengalami kesulitan meminta ijin untuk meninggalkan sesi kuliah di hari Jumat itu. Beberapa waktu sebelumnya, beberapa rekan kuliah kami memang meminta ijin bergantian untuk mendapatkan hari libur kuliah untuk keperluan pribadi. Dan saat itu, ketika 3 orang muslim (Saya dan Faried serta seorang Tunisia) dari 5 orang peserta kuliah meminta ijin sekaligus untuk berangkat ke Tokyo untuk melaksanakan shalat Ied di sana? Sensei terlihat gusar dan mengingatkan kami bahwa tugas utama kami adalah belajar (Bahasa Jepang), terutama karena kami menerima dana beasiswa dari pemerintah Jepang untuk belajar di sana, jangan sampai dana pemerintah ‘sia-sia’ atau hanya digunakan untuk berjalan-jalan dan pesiar saja di Jepang. Kupahami bahwa beliau terlihat kurang puas dengan kemajuan belajar kami, dan terus terang saja,  saya pun kurang puas dengan hasil belajar kami. Jadi… dengan berat hati kami memutuskan untuk membatalkan kepergian kami ke Tokyo, dan tetap mengikuti sesi belajar pada hari fitri itu.

Hal yang cukup menghibur adalah adanya undangan makan bersama dari kumpulan mahasiswa Malaysia yang jumlahnya cukup banyak di Maebashi. Mereka berbusana khas Malaysia berupa baju kurung panjang yang cantik-cantik. Saya pun berbusana rapi untuk hari istimewa itu, walaupun harus cukup bersusah payah mengendarai sepeda dengan rok panjang bermotif batik untuk datang ke acara yang diselenggarakan di ruang bersama kampus kami.Acara syukuran Idul Fitri yang diselenggarakan pada hari kedua lebaran itu dihadiri juga oleh beberapa mahasiswa Jepang maupun mahasiswa asing lainnya. Hidangan yang disiapkan adalah hidangan melayu yang cukup memanjakan lidah. Opor dan lontong menjadi pengganti ketupat sayur yang menjadi hidangan khas lebaran. Kering bihun pedas dan laksa membuat lidah tamu-tamu berkebangsaan Jepang menjadi megap-megap kepedasan, namun beberapa jenis kue dan agar-agar santan menjadi penutup yang manis dari acara tersebut.

Ramadhan kedua di sana, dijalani dengan lebih menyenangkan. Bertambahnya warga Indonesia yang belajar di sana membuat komunitas kami sedikit bertambah besar. Seorang peneliti dari sebuah lembaga pemerintah di Bandung sempat menjadi tetangga kamarku di asrama. Karena kami sama-sama lajang, beberapa kali kami sempat saling menginap setelah kami harus keluar dari asrama kampus dan tinggal di apartemen masing-masing, Sedangkan Faried pun kemudian membawa istrinya, Leri, untuk tinggal di Maebashi dan bersama-sama mengambil program doktor. Saya dan Leri kemudian menjadi akrab juga dan beberapa kali saling berkunjung dan bereksperimen memasak bersama.

Acara buka bersama yang di Indonesia kadang sulit dihadiri seluruhnya (karena diundang pada hari dan waktu yang bersamaan), di Jepang nyaris tak bisa dilakukan. Sesekali saja, saya dan seorang teman dari Indonesia atau Tunisia berbuka puasa bersama secara bergantian di kamar kami di asrama. Memang ada beberapa mahasiswa muslim dari Malaysia, juga kawan-kawan dari Pakistan ataupun Mesir yang membuat arti persaudaraan dalam Islam makin terasa, tapi tetap saja jumlah kami relatif sedikit. Kerudung yang saya kenakan membuat saya dan beberapa teman akhwat (terutama dari Malaysia dan Mesir) terlihat berbeda, dan lagi-lagi menimbulkan banyak pertanyaan.

Untuk memperkenalkan Indonesia, beberapa kali saya sempat menjadi pembicara (ehm!) di beberapa sekolah dan tempat lain. Biasanya sih sendiri, namun sempat juga mendapat 2 kali kesempatan ‘berduet’ dengan orang Malaysia karena kemiripan wilayah dan budaya kita. Kesempatan berbicara di depan umum seperti itu, membuka peluang untuk memberi penjelasan bahwa Islam tidak identik dengan teroris, dan berkesempatan pula untuk mengungkapkan sisi lain dari Islam. Mudah-mudahan terkuaklah tabir ketidakmengertian mereka, semoga Allah SWT memberi hidayah kepada orang-orang yang mau menerima petunjuk. Amiin.

Di luar forum resmi, tentu saja banyak pertanyaan berkaitan dengan dunia Islam. Pertanyaan mereka tidak hanya berkaitan dengan shalat dan shaum, tapi hingga konsep poligami serta tentu saja…kerudung yang saya kenakan. Kadang lucu juga ketika mendengar komentar mereka, ”Ah… hari Jumat begini harus berkerudung hitam ya?” atau “Oh… kalau Senin harus berkerudung putih ya?” Padahal itu hanya terkait dengan persediaan kerudung yang saya bawa. Untuk efisiensi, saya memang hanya membawa kerudung berwarna netral agar bisa dipadu-padan dengan beragam warna busana. Bukan karena hari tertentu-lah…

Kebiasaan makan dan shaum Ramadhan pun kerap menjadi pertanyaan karena mereka melihat adanya perbedaan pelaksanaan puasa dari sesama muslim. Misalnya seorang muslimah Turki, tanpa ragu dan malu-malu, berebut sisa sake yang dihidangkan di suatu pesta, dan dengan bangga menunjukkan ‘hasil perjuangannya’. Dia pula yang tanpa ragu makan siang di ruang rekreasi bersama di area kampus pada bulan Ramadhan pada saat muslim yang lain sedang shaum. Pelaksanaan shaum ini ternyata bisa membuat sebagian orang tercengang-cengang. Ketika kami sampaikan bahwa umat muslim harus berpuasa sebulan penuh, mereka terkejut-kejut. Mereka pikir, kita tidak boleh makan dan minum sama sekali selama sebulan itu, tapi masih boleh minum. Ketika mereka tahu bahwa kita hanya berpantang makan dan minum sejak pagi hingga sore hari, mereka tampak masih tidak mengerti, apa maksud kegiatan itu? Wah… perlu penjelasan panjang memang, untuk mengerti konsep keTuhanan dan pengabdian serta ibadah kepada-Nya. Seorang kawan yang berasal dari Korea berkomentar, ”Sepertinya saya tidak akan sanggup berpuasa. Saya bisa mati kalau tidak makan-minum seharian seperti itu...” Wah… kalau saja dia tahu betapa banyak manfaat dan hikmah puasa, saya rasa dia pun tentu ingin mendapatkannya.

[caption id="attachment_123656" align="aligncenter" width="645" caption="Bertemu dengan Daichi, murid saya dulu, di halaman Balai Indonesia."][/caption] Satu pengalaman mengharukan adalah ketika saya berkesempatan untuk mengikuti shalat Ied di kedutaan besar Indonesia. Di malam takbiran, saya numpang menginap di asrama seorang kawan. Kurang syahdu rasanya tanpa adanya gema takbir sepanjang malam. Paginya, setelah berjuang di kepadatan lalu lintas Tokyo, disambung dengan jalan kaki yang cukup melelahkan (apalagi karena dilakukan dengan bergegas), sampailah saya dan beberapa kawan di halaman Balai Indonesia. Pagi itu gerimis, tapi tentu saja ‘the show must go on’ alias shalat Ied harus tetap dilangsungkan. Saya terlambat menggelar sajadah dan mengenakan mukena, hingga tertinggal mengerjakan shalat rakaat pertama. Masa mesti masbuk sih? Tapi ternyata ada shalat Ied gelombang kedua, dan bahkan ketiga! Seusai shalat, jamaah berbaur di dalam gedung untuk menikmati sajian makanan khas Indonesia ataupun sekedar kue-kue camilan sambil berbincang-bincang dengan kawan sesama muslim lain, yang notabene baru ditemui pada saat itu. Tapi kami betul-betul serasa saudara. Tidak pernah kenal sebelumnya, tapi saling menyapa ramah. Kalau saja muslim di Indonesia bisa juga seperti ini ya? Indahnya…

Siang itu saya langsung pulang ke Maebashi dengan kereta api. Di stasiun, hilir-mudik wajah-wajah melayu, dan rupanya kereta pun nyaris penuh dengan orang Indonesia. Kalau kita memejamkan mata, serasa mudik deh, karena rata-rata mereka berbicara dengan bahasa daerah masing-masing. Lucu juga.

Pengalaman shalat Ied itu menjadi yang pertama dan terakhir bagi saya saat tinggal di Jepang. Saat ini saya merindukan suasana syahdu dan persaudaraan sesama muslim sebangsa saat berada di rantau. Berharap agar persaudaraan dan rasa keterikatan serupa itu bisa juga dirasakan di Indonesia saat ini.

[Telkomsel Ramadhanku]

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun