Mohon tunggu...
Dicky Shohibul Falah
Dicky Shohibul Falah Mohon Tunggu... pelajar

programer

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Quantum Computing: Revolusi Senyap di Balik Layar Digital

20 Mei 2025   10:05 Diperbarui: 20 Mei 2025   10:05 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dasar- Dasar Komputasi (Sumber: Freepik)

Quantum Computing -- Antara Revolusi Teknologi dan Tantangan Realitas

Quantum computing bukan sekadar lompatan teknologi. Ia adalah redefinisi dari apa yang kita kenal sebagai komputasi. Berlandaskan prinsip-prinsip fisika kuantum seperti superposisi dan entanglement, quantum computing menjanjikan kecepatan dan efisiensi yang selama ini tak terbayangkan dalam dunia digital. Namun, janji besar ini datang dengan kerumitan yang tidak kalah besar, baik dalam sisi teknis, organisasi, maupun etika.

Artikel berjudul "Quantum Computing" oleh Rietsche dan kolega, menawarkan fondasi yang penting tentang struktur dan arah perkembangan teknologi ini. Yang menarik, artikel ini tidak hanya membahas sisi teknis tetapi juga mencoba menautkannya dengan tantangan sosial, ekonomi, dan bisnis digital. Ini adalah pendekatan yang perlu diadopsi lebih luas, terutama ketika membicarakan teknologi yang begitu radikal seperti komputasi kuantum.

Dalam sistem klasik, bit adalah raja. Ia mengenal hanya dua keadaan: 0 atau 1. Tapi dalam dunia kuantum, qubit bisa berada di kedua posisi secara bersamaan -- inilah superposisi. Ditambah dengan fenomena entanglement yang memungkinkan dua qubit saling terhubung terlepas dari jarak, maka terbentuklah dunia komputasi yang benar-benar baru. Hasilnya? Komputasi yang dapat menyelesaikan masalah-masalah rumit dengan kompleksitas eksponensial hanya dalam hitungan menit---jika tidak detik---sesuatu yang mustahil dilakukan oleh komputer konvensional.

Namun, teknologi ini bukan sihir. Komputasi kuantum bukan solusi untuk semua masalah. Artikel tersebut secara jujur menekankan bahwa quantum computing bukanlah pengganti dari komputer klasik. Ia bukanlah alat serbaguna. Ia adalah alat khusus, dengan potensi luar biasa, yang hanya efektif untuk jenis masalah tertentu seperti simulasi molekuler, optimasi kompleks, atau pemfaktoran bilangan prima yang besar. Dengan kata lain, quantum computing bukan evolusi dari komputasi klasik---ia adalah revolusi yang berjalan pada jalur yang berbeda.

Dari sisi teknis, tantangan terbesar terletak pada stabilitas qubit. Diperlukan lingkungan yang sangat ekstrem untuk menjaga keutuhan kuantum, termasuk suhu mendekati nol mutlak. Bahkan, satu getaran kecil saja bisa menyebabkan kesalahan fatal dalam perhitungan. Di sinilah letak urgensi pengembangan sistem perangkat lunak kuantum yang mampu mengoreksi error secara otomatis dan real-time. Namun, ironisnya, proses koreksi error itu sendiri dapat menyebabkan error baru.

Yang menarik, artikel ini juga menyoroti keterbatasan dalam layer aplikasi. Tidak adanya quantum memory yang efisien, misalnya, mengharuskan setiap perhitungan dilakukan secara real-time dengan bantuan komputer klasik. Artinya, kolaborasi antara sistem klasik dan kuantum menjadi keniscayaan. Alih-alih menggantikan, quantum computing justru membutuhkan sistem lama sebagai pendukung.

Dari perspektif bisnis dan informasi, artikel ini menyinggung ekosistem baru yang muncul: startup, perusahaan teknologi besar, lembaga pemerintah, hingga institusi pendidikan. Semua saling terhubung dalam rantai nilai baru yang dibentuk oleh kebutuhan akan pengetahuan kuantum. Tapi justru di sinilah tantangan besar mengintai. Quantum divide---kesenjangan antara yang memiliki akses ke teknologi kuantum dan yang tidak---bisa menjadi bentuk baru dari digital divide. Negara atau perusahaan yang tidak punya infrastruktur atau SDM di bidang ini bisa tertinggal jauh, bukan hanya dalam aspek teknologi, tetapi juga ekonomi dan geopolitik.

Dalam konteks organisasi, muncul pertanyaan penting: bagaimana perusahaan bisa mempersiapkan diri menghadapi revolusi ini? Tidak cukup hanya merekrut ilmuwan kuantum. Diperlukan transformasi menyeluruh, dari infrastruktur TI, manajemen risiko, hingga etika penggunaan data. Sistem informasi yang selama ini dibangun berdasarkan struktur deterministik harus bersiap menerima ketidakpastian sebagai bagian dari proses komputasi.

Dari sisi pendidikan, artikel ini menyentil satu isu yang sangat relevan: kurikulum. Quantum computing bukan hanya soal fisika atau matematika. Ia membutuhkan lintas disiplin: pemrograman, sistem informasi, etika digital, bahkan filsafat ilmu. Dunia pendidikan harus menyadari bahwa pengembangan talenta kuantum bukan hanya soal mencetak insinyur, tetapi juga pemikir dan perancang kebijakan yang memahami dampak sosial dari teknologi ini.

Tentu, masih ada ruang untuk skeptisisme. Dengan seluruh tantangan teknis dan infrastruktur yang belum sepenuhnya teratasi, quantum computing masih butuh waktu untuk benar-benar masuk ke dunia nyata. Namun menunggu hingga teknologi ini matang sepenuhnya justru bisa membuat kita kehilangan momentum. Karena itu, investasi dalam riset, kolaborasi antar institusi, dan pendidikan multidisipliner harus segera dimulai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun