Banda Aceh, 12 Oktober 2025 --- Kewarganegaraan bukan lagi sekadar status hukum atau identitas formal, melainkan suatu konstruk sosial yang terus berkembang. Dua teori besar dalam sosiologi, yaitu teori Thomas Humphrey Marshall dan Bryan S. Turner, menawarkan kerangka berbeda namun saling melengkapi untuk memahami kehampaan dan dinamika kewarganegaraan masa kini.
Menurut teori Marshall, kewarganegaraan terdiri dari tiga komponen hak: hak sipil (civil rights), hak politik (political rights), dan hak sosial (social rights). Marshall memandang bahwa masyarakat barat (khususnya Inggris) telah melalui evolusi historis di mana hak-hak sipil muncul pertama, diikuti hak politik, lalu hak sosial sebagai tanggapan terhadap ketidaksetaraan dalam hal penghidupan dan kesejahteraan.
Sementara itu, Bryan S. Turner melihat bahwa kondisi sosial, ekonomi, dan budaya kontemporer telah merombak atau melemahkan beberapa asumsi dasar teori Marshall. Turner menyoroti fenomena seperti informalitas kerja (precariat), globalisasi, migrasi, serta pergeseran masyarakat ke arah neoliberal di mana jaminan sosial dan stabilitas kerja tidak lagi menjadi hal yang dapat diandalkan seperti dahulu.
Berbagai kritik dan penelitian terbaru mengindikasikan bahwa untuk generasi saat ini, termasuk generasi muda di Indonesia, tantangan seperti ketidaksetaraan akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan lapangan pekerjaan semakin nyata. Kependudukan migran dalam maupun luar negeri juga menimbulkan pertanyaan: siapa yang dianggap "warga" dan siapa yang harus menanggung konsekuensinya?
Para pengajar dan akademisi di Aceh menyebut bahwa pemahaman teori kewarganegaraan sangat penting dalam pendidikan kewarganegaraan dan pelatihan civic, agar generasi muda tidak hanya mengerti hak-hak formal, tetapi juga memahami tanggung jawab dan realitas sosial di lapangan.
Siapa sosok yang menjadi tokoh utama dalam pembahasan ini?
Tokoh utama dalam pembahasan ini adalah T. H. Marshall dan Bryan S. Turner. Marshall adalah sosiolog Inggris yang dikenal lewat teorinya bahwa kewarganegaraan penuh meliputi hak sipil, hak politik, dan hak sosial. Turner adalah sosiolog Inggris-Australia kontemporer yang fokusnya pada bagaimana kewarganegaraan berubah dalam konteks modern: globalisasi, neoliberalism, dan perubahan sosial yang mengancam stabilitas hak-sosial dan bentuk partisipasi warga negara.
Perbandingan Teori Kewarganegaraan Menurut T.H. Marshall dan Bryan S. Turner
Pemikiran tentang kewarganegaraan banyak dipengaruhi oleh dua tokoh besar dalam sosiologi, yaitu T.H. Marshall dan Bryan S. Turner. Keduanya sama-sama membahas hubungan antara warga negara, hak-hak yang dimiliki, serta peran negara dalam menjamin kesejahteraan sosial. Namun, arah dan fokus pemikiran mereka berbeda sesuai dengan konteks zamannya.
1. Asumsi tentang Negara Kesejahteraan
Marshall melihat negara kesejahteraan sebagai lembaga yang stabil dan berkembang secara bertahap. Ia percaya bahwa hak sosial seperti pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial merupakan bagian penting dari kewarganegaraan modern. Pandangan ini muncul di masa pasca-Perang Dunia II, ketika negara-negara Eropa Barat sedang memperkuat sistem kesejahteraan sosialnya.
Sementara itu, Turner menilai pandangan Marshall sudah tidak sepenuhnya relevan. Di era globalisasi dan neoliberalisme, negara tidak lagi mampu menjamin hak sosial bagi semua warganya. Akibatnya, banyak orang hanya memiliki "kewarganegaraan di atas kertas" tanpa benar-benar merasakan manfaatnya.