Aku mengembuskan napas panjang. Lega. Dia tersenyum, Dalam perjalanan pulang, di bawah langit yang sama, kami lantas bercinta untuk merayakan.
Di layar itu, semuanya terpampang jelas. Nama, wajah, kisah yang seharusnya hanya milikku, terburai tanpa belas kasihan. Setiap kata seperti duri yang menancap di dada. Kenapa semua ada di sana? Kenapa semuanya tentangku?
Aku muak. Muak setengah mati.
Mual menjalar dari perut ke tenggorokan. Aku ingin berpaling, ingin lari, tapi layar itu terus bergulir. Tanpa ampun. Tanpa henti. Seperti arus deras yang menolak memberiku jeda untuk bernapas.
Aku masih terjaga, bukan oleh kantuk yang enggan datang, melainkan oleh rasa heran di menghantam pikiranku. Belum sempat menyusun kepingan logika, dua pasang tangan kekar kembali mencengkeram tubuhku dengan kasar.
"Tunggu dulu!" seruku, meronta, berusaha melepaskan genggaman mereka.
Si brewok menatapku tajam. Mata gelapnya berkilat dengan ketidaksabaran yang memuakkan. "Mau apalagi kamu?" suaranya berat, menggertak, seperti gemuruh sebelum badai.
Aku menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri meski jantungku berdegup kencang. "Sebenarnya mau dibawa ke mana aku ini?" tanyaku.
Si gimbal menyeringai, senyum tipisnya lebih terasa seperti vonis ketimbang isyarat belas kasihan. "Ke penjara."
"Penjara?" aku mengulanginya, hampir tergagap, "Hei, hei! Aku bahkan belum diadili. Kalian tidak bisa seenaknya menjebloskan orang begitu saja, ini pelanggaran. Kalian mengabaikan asas praduga tak bersalah."
Si gimbal terkekeh, lalu mendekat, "Siapa bilang kamu tidak bersalah."