Setiap pagi, jutaan pekerja di seluruh Indonesia meninggalkan rumah. Mereka pamit pada keluarga, berharap bisa kembali pulang di sore hari dengan selamat. Di antara harapan dan realita keras di tempat kerja, baik itu di ketinggian gedung pencakar langit, di samping deru mesin pabrik, maupun di tengah proyek infrastruktur. Ada satu sistem yang seharusnya menjadi malaikat pelindung mereka: Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).
K3 bukanlah sekadar helm atau sepatu bot. Ia adalah sebuah sistem komprehensif yang dirancang untuk memastikan setiap risiko telah diidentifikasi, diukur, dan dikendalikan. Puncaknya seringkali terwujud dalam selembar sertifikat yang menyatakan bahwa sebuah perusahaan telah memenuhi standar kelayakan.
Namun, apa yang terjadi ketika sertifikat itu, sang penjaga nyawa, bisa "dibeli"?
Kasus dugaan pemerasan dalam pengurusan sertifikasi K3 yang baru-baru ini mencuat di lingkungan Kementerian Ketenagakerjaan adalah alarm yang memekakkan telinga. Ini bukan sekadar berita tentang penyalahgunaan wewenang atau perputaran uang haram. Ini adalah pengkhianatan terhadap kepercayaan jutaan pekerja. Ini adalah cerita tentang bagaimana korupsi di level atas secara langsung menempatkan nyawa dan produktivitas pekerja di level paling bawah sebagai taruhannya.
Ilusi Keselamatan di Atas Kertas
Ketika sebuah sertifikat K3 bisa "dibeli", bukan berarti ada transaksi jual-beli selembar kertas di pasar gelap. Praktiknya lebih halus dan berbahaya. "Membeli" sertifikat berarti membayar untuk sebuah jalan pintas:
Membayar agar auditor "menutup mata" pada perancah yang sudah rapuh.
Membayar agar mesin produksi yang pelindungnya rusak tetap diloloskan.
Membayar agar catatan pelatihan keselamatan fiktif dianggap sah.
Membayar agar sertifikat Ahli K3 terbit untuk personel yang tidak kompeten.
Hasilnya adalah sebuah ilusi yang mematikan. Perusahaan memegang sertifikat yang valid secara hukum, para manajer merasa tenang, namun para pekerja di lapangan sesungguhnya bekerja di tengah bom waktu. Mereka dilindungi oleh selembar kertas, bukan oleh standar keselamatan yang nyata.
Biaya Sebenarnya: Nyawa yang Melayang
Kita tidak perlu berteori. Data berbicara dengan gamblang tentang biaya dari lemahnya standar keselamatan. Menurut data dari BPJS Ketenagakerjaan, sepanjang tahun 2024 saja tercatat lebih dari 350.000 kasus kecelakaan kerja di Indonesia. Banyak pendapat memprediksi angka ini akan meningkat di 2025.
Sektor konstruksi dan manufaktur secara konsisten menjadi penyumbang terbesar. Kementerian Ketenagakerjaan sendiri melansir bahwa penyebab utama kecelakaan fatal seringkali adalah jatuh dari ketinggian dan kontak dengan mesin berbahaya.
Sekarang, mari kita hubungkan titik-titiknya. Kecelakaan-kecelakaan ini adalah jenis insiden yang seharusnya bisa dicegah oleh penerapan K3 yang ketat. Ketika seorang pekerja konstruksi jatuh karena sabuk pengamannya putus, tanyakan: apakah audit sertifikasi alat pelindung diri (APD) sudah dilakukan dengan benar, atau hanya dilewati dengan "uang pelicin"? Ketika seorang operator pabrik kehilangan jarinya karena mesin, tanyakan: apakah audit kelayakan mesin benar-benar memeriksa sensor pengaman, atau hanya formalitas di atas kertas? Dan yang lebih fundamental, apakah petugas yang melakukan audit tersebut benar-benar kompeten, atau sertifikat keahliannya juga merupakan hasil dari sistem yang korup?
Korupsi sertifikasi K3, baik pada level sistem perusahaan maupun kompetensi personelnya, secara langsung menciptakan kondisi yang memungkinkan tragedi ini terus berulang. Ia mengubah tempat kerja menjadi arena pertaruhan nyawa.
Efek Domino: Produktivitas Nasional yang Tergerus
Jika kehilangan nyawa belum cukup menjadi alasan, mari kita bicara dari sudut pandang bisnis dan ekonomi. Dari kacamata industri, kecelakaan kerja adalah bentuk pemborosan (waste) terbesar yang menghancurkan produktivitas.
Kerugiannya bukan hanya biaya pengobatan atau santunan. Ada "biaya tersembunyi" yang jauh lebih besar:
Waktu Produksi yang Hilang: Saat kecelakaan terjadi, pekerjaan berhenti. Bukan hanya bagi korban, tapi juga bagi rekan-rekannya yang menolong, yang terguncang, atau yang harus terlibat dalam proses investigasi.
Moral Pekerja yang Anjlok: Bekerja di lingkungan yang tidak aman menciptakan ketakutan dan kecemasan. Pekerja yang waswas tidak akan bisa fokus dan produktif. Mereka menghabiskan energi mental untuk menjaga diri, bukan untuk menyelesaikan pekerjaan dengan optimal.
Reputasi Perusahaan yang Rusak: Perusahaan dengan rekam jejak kecelakaan kerja yang buruk akan kesulitan merekrut talenta terbaik dan mempertahankan karyawan berkualitas.
International Labour Organization (ILO) memperkirakan bahwa sebuah negara bisa kehilangan hingga 4% dari Produk Domestik Bruto (PDB) tahunannya akibat biaya yang terkait dengan kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Ini adalah angka yang sangat signifikan, sebuah bentuk sabotase ekonomi yang lahir dari praktik korup.
Mengembalikan K3 pada Tujuan Mulianya
Kasus yang terungkap ini harus menjadi momentum untuk pembenahan total. Ini bukan lagi soal menghukum satu atau dua oknum. Ini soal memperbaiki sistem yang rusak.
Sertifikat K3 harus dikembalikan pada tujuan mulianya: sebagai jaminan, bukan sebagai komoditas. Caranya adalah dengan membangun sistem yang transparan, akuntabel, dan sulit untuk dimanipulasi. Digitalisasi proses audit, pengawasan independen yang ketat, dan sanksi yang tidak main-main bagi perusahaan maupun oknum yang berani memperjualbelikan keselamatan adalah langkah yang tidak bisa ditawar lagi.
Pada akhirnya, setiap kebijakan, setiap sertifikasi, dan setiap audit harus bermuara pada satu pertanyaan sederhana: apakah ini membuat pekerja kita lebih aman? Jika tidak, maka sistem itu telah gagal. Karena di ujung setiap proses birokrasi yang korup, ada nyawa manusia yang menjadi taruhannya-sebuah harga yang tidak akan pernah bisa kita bayar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI