Mohon tunggu...
N. Alam Pratama
N. Alam Pratama Mohon Tunggu... Freelancer - Lingkar Ide

Penikmat musik, anime dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Diary

Kini Aku Benar-benar Menderita

26 Februari 2023   22:45 Diperbarui: 26 Februari 2023   23:28 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Salah seorang teman perempuanku pernah menawariku untuk sering-sering menjalin komunikasi via Whatsapp dengannya, karena memang kita tinggal di kota yang berbeda. Menurutnya, setidaknya aku punya teman ngobrol ketika sedang sendirian, agar aku tidak terpaku cemas yang menyiksa. 

Meskipun ebelumnya ia juga merekomendasikanku untuk segera berobat kembali, namun pada dasarnya ia juga punya keyakinan bahwa pergi berobat ke rumah sakit atau Psikiater bukan menjadi solusi paling tepat. Ia meyakinkanku kalau memang kapanpun aku mau, ia siap mendengarkan semua hal yang ingin atau perlu diceritakam. Namun aku tetap tidak bisa karena pengalaman traumatik yang membuatku lebih menderita.

Dulu, aku sempat mempresentasikan kondisiku yang sedemikian rupa buruknya kepada beberapa teman. Dan, waktu itu aku rasa situasinya sangat tepat karena kita tengah membicarakan masalah-masalah personal yang dihadapi. Namun, sayangnya aku malah dianggap alay, lebay, mengada-ada, tak rasional, bohong, bahkan ditertawai.

Marah bercampur sedih menyatu dengan wajah memerah dan tatapan sinisku. Seketika itu juga, aku mulai lebih menutup diri dan sulit mempercayai asas pertemanan dengan slogan "saling merawat dan saling membesarkan" dan "satu rasa, sama rata" yang kerap dikampanyekan.

Memang pada dasarnya aku adalah individu yang temperamental, emosiku kadang kala tak terkontrol dengan baik. Semenjak kejadian yang tidak mengenakkan itu, aku jadi lebih sering mencurigai cara berpikir teman-teman. Aku menganggap kebaikan, empati dan simpati bahkan seluruh moralitas yang dipertontonkan mereka, memiliki motif politik tertentu yang berorientasi pada kekuasan, dan kemungkinan bakal mensubordinasi yang lain, bahkan aku.

Brengsek, semua dijadikan komoditas untuk dijual. Bahkan soal pertemanan pun sama. Ternyata tanpa disadari logika kapitalisme bekerja dalam relasi pertemanan sehari-hari. Dan, aku lebih memilih memalingkan diri dari virus antagonistik kapitalisme yang kasar.

Di bawah sistem kapitalisme kita dipaksa untuk tunduk terhadap mekanisme pasar. Saling berebut dan bersaing, tersingkirkan dan terasingkan, jatuh dan diinjak. Kapitalisme adalah monster yang mengerikan dengan sistem kerjanya yang busuk; Buruh pabrik yang gajinya pas-pasan, kampung-kampung yang tanah warganya dirampas paksa, krisis iklim yang mengancam dan bencana ekologi yang kapan hari bisa datang, lubang-lubang bekas tambang yang memakan korban, jeratan hutang petani pada lintah darat atau lembaga penyedia mikrokredit, dan kasus bunuh diri masyarakat miskin yang tak kuasa menanggung biaya beban hidup.

Di lain hal, lakon kapitalisme yang bisnisnya menggurita dan punya kekuatan modal menggunung sebagai prasyarat utama untuk menguasai pasar terus-menerus memonopoli kehidupan ini melalui iklan-iklan yang berserakan dipapan reklame sepanjang jalan kota dan/atau media digital. Standar hidup diciptakan sesuai selera. Semua demi kapital.

Di saat para lakon kapitalis saling berebut saham dan menimbun kekayaan, masyarakat miskin dan borjouis kecil dikontruksikan untuk saling berebut gengsi. Berlomba memvalidasi keberadaan diri melalui jumlah followers dan centang biru akun Instagram pribadi.

Bila kamu ingin hidup maka belilah kuota, bukan beras. Begitu singkatnya.

Serupa Jakarta yang menjadi pusat ketimpangan dan kerusakan, kapitalisme adalah pabrik penderitaan. Semua cuman demi keuntungan. Dan percayalah, kapitalisme adalah bencana yang sesungguhnya. Setidaknya Lenin pernah berkata bahwa "kapitalisme adalah kengerian tanpa akhir".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun