Di tengah gelombang ekstremisme, bias digital, dan cengkeraman oligarki, feminisme Indonesia berdiri di persimpangan. Pertanyaannya, apakah feminisme akan bersuara lantang atau justru terpinggirkan?
Persimpangan yang Menentukan
Feminisme di Indonesia kembali diuji. Gelombang ekstremisme global, bias yang menyebar melalui dunia maya, hingga menguatnya oligarki politik telah menciptakan medan baru yang cukup rumit. Dalam situasi seperti ini, feminisme tidak bisa memilih santai-santai saja. Sebaliknya, dituntut lebih nyaring, hadir dengan keberpihakan yang jelas, dan menembus ruang-ruang yang selama ini didominasi oleh kekuasaan.
Pesan itu mengemuka dalam Kartini Conference on Indonesian Feminisms (KCIF) 2025 yang digelar secara daring pada 14-21 September lalu. Guru Besar Kajian Gender UIN Sunan Kalijaga sekaligus Komisioner Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah, mengingatkan bahwa feminisme tidak boleh sekadar menjadi kajian rutin atau terbatas pada ruang akademik. Ia harus hadir di tengah arus politik dan sosial yang kian menekan agenda kesetaraan.
Peluncuran buku Feminisme Indonesia di Persimpangan Trajektori dan Destinasi menjadi salah satu penanda. Buku tersebut menyajikan hasil refleksi KCIF 2024 dan menempatkan feminisme Indonesia pada posisi "persimpangan": titik rapuh sekaligus produktif di mana arah gerakan mesti ditentukan.
Menurut Diah Irawaty, salah satu penyunting, menyebut istilah persimpangan sebagai metafora bagi gerakan yang tak pernah berdiri sendiri. Feminisme, katanya, selalu bersentuhan dengan patriarki, konservatisme agama, maupun otoritarianisme. Posisi ini menuntut keberanian untuk tidak sekadar mengikuti arus, melainkan merumuskan jalur baru yang lebih berpihak pada keadilan.
Dari Wacana ke Agenda Nyata
Buku tersebut menunjukkan bagaimana feminisme tidak berhenti di ruang teori semata. Kisah hidup perempuan yang terdokumentasi memberi kedalaman yang kerap luput dari angka-angka statistik. Widjayanti M. Santoso dari Pusat Riset Masyarakat dan Budaya, Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRMB-BRIN) menilai pendekatan life story akan memperkuat data sekaligus menjadi materi advokasi.
Pandangan serupa disampaikan M. Firdaus dari KAPAL Perempuan. Dari pengalamannya mendampingi perempuan di sektor informal, ia melihat bagaimana ekonomi kapitalistik terus menyingkirkan kerja-kerja perempuan. Analisis feminis justru mampu memberi pengakuan pada nilai yang selama ini dianggap pinggiran.
Endah Trista Agustiana menambahkan pentingnya interseksionalitas. Advokasi feminis, menurutnya, berkontribusi nyata terhadap kebijakan nasional, termasuk lahirnya tujuan khusus kesetaraan gender dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional.