Mohon tunggu...
Cucum Suminar
Cucum Suminar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer

Belajar dari menulis dan membaca. Twitter: @cu2m_suminar

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Cerpen | Sunaryo dan Tangan Keriput Ibu

1 Juni 2019   16:39 Diperbarui: 1 Juni 2019   16:45 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Rumah Hufazh

Hentakan tangan Sunaryo membuat kalender berwarna  biru tersebut bergoyang ke kiri dan kanan. Helaian kertas yang memuat deretan angka selama satu tahun tersebut seolah sedang mencoba menyeimbangkan diri --mencari posisi agar kembali menggantung dengan tegak di dinding ruang tamu.

Sejak beberapa bulan lalu, saat Ramadan masih jauh dari pelupuk mata, Sunaryo kerap memegangi almanak yang hanya satu helai tersebut. Setiap pulang mengajar --usai istri dan ketiga putrinya terlelap, ia menanggalkan kalender tersebut dari gantungan paku berwarna hitam. Ia pandangi almanak tersebut dalam-dalam, terutama tanggalan merah yang diperkirakan akan menjadi libur panjang Hari Raya Idulfitri.

Sejak berpuluh hari lalu, Sunaryo sempat mengutarakan niat untuk pulang pada "hari kemenangan" tersebut. Apalagi ia terakhir kali mudik ke kampung halaman 18 bulan lalu, saat ayahandanya tercinta meninggal dunia. Ada rasa sesal yang hinggap di hati Sunaryo saat harus kembali bertemu dengan sang ayah dalam kondisi yang tak lagi bernyawa.

Apalagi beberapa bulan sebelum ayahnya meninggal, Sunaryo memang berniat untuk pulang. Lelaki berusia 40 tahun tersebut sudah mengintip-intip harga tiket pesawat. Ia bahkan sudah menghitung berapa kira-kira biaya yang harus ia keluarkan selama pulang kampung.

Namun rencana tersebut batal dengan terpaksa. Atap rumah yang hampir rubuh memupuskan niatnya untuk bertemu keluarga. Uang yang sedianya untuk pulang naik pesawat lima orang tersebut, terpaksa ia korbankan untuk memperbaiki atap rumah agar kembali bisa memayungi mereka dengan aman.


Lima tahun sebelumya, ia juga mengalami pengalaman yang hampir sama. Sunaryo sudah berniat pulang untuk bertemu keluarga besarnya yang tinggal di tanah Jawa. Namun lagi-lagi niat tersebut harus ia kubur dalam-dalam. Biaya uang muka rumah ternyata menguras habis tabungannya.

Sunaryo harus memendam pedih. Bukan hanya sedih karena batal pulang, tetapi tak berapa lama dari rencana kepulangannya tersebut, ia mendengar kabar bahwa Mbahti yang selalu merawatnya dengan sabar berpulang ke sang pencipta. Remuk rasanya saat terpaksa harus mendoakan neneknya tercinta hanya dari jauh.

Lima tahun lalu, memiliki rumah memang menjadi prioritas Sunaryo. Harga sewa rumah yang terus melambung membuat ia mengorbankan keinginannya untuk pulang. Rasa rindu bertemu keluarga tercinta ia pupus dalam-dalam. Sunaryo hanya berdoa, semoga ada kesempatan untuk bertemu keluarganya di waktu lain.

Saat mendapat rejeki yang sedikit berlimpah pada waktu itu, ia putuskan untuk mengambil KPR rumah. Apalagi Sunaryo sudah memiliki tiga orang anak yang tentu harus lebih dipikirkan biaya pendidikan dan lainnya. Sehingga, untuk menghemat pengeluaran beberapa tahun kedepan, ia paksakan mengkredit rumah.

***

Libur lebaran ini, semangat untuk pulang kembali berkobar-kobar. Sunaryo ingin bertemu sang ibunda --mumpung beliau masih hidup. Ia rindu mendekap tangan yang sudah penuh dengan keriput tersebut. Ia rindu mencicipi dendeng kambing yang biasa dibuatkan sang bunda untuk dinikmati setiap santap pagi.

Beberapa hari lalu ia mendapat rejeki yang cukup lumayan dari thr dan bonus  yang dibagikan sekolah tempat ia mengajar. Bila dihitung-hitung, uang tersebut cukup untuk membeli tiket pesawat beserta beberapa helai pakaian sebagai buah tangan untuk ibunda tercinta.

Namun lagi-lagi, menjelang akan membeli tiket Sunaryo kembali galau. Halaman belakang rumah tiba-tiba ambruk. Perlu dana yang tidak sedikit untuk membetulkan batu miring tersebut. Rumah yang ia beli memang berada di perumahan yang berbukit-bukit. Saat membeli rumah, Sunaryo hanya mempertimbangkan harga rumah yang terjangkau dan dekat dengan sekolah tempat ia mengajar.

"Kalau Bapak sangat berniat pulang, pulanglah Pak. Biar kami dirumah. Sisa uang untuk ongkos transportasi kami, biar untuk membetulkan halaman belakang agar longsorannya tidak semakin meluas," kata istri Sunaryo suatu hari.

Istri yang dinikahinya sejak 13 tahun lalu itu sepertinya sangat mengerti akan keinginannya untuk pulang, namun terkendala keuangan. Entah mengapa, setiap kali mendapat rejeki dan berniat untuk pulang, selalu ada saja kebutuhan lain yang lebih mendesak. "Pulanglah Pak, kasihan ibumu." Kalimat istrinya tersebut masih terngiang.

Sunaryo memang ingin pulang. Ia ingin bertemu sang ibu. Bila kembali batal pulang, ia takut tak lagi sempat bersua sang bunda.

***

"Sunaryo, akhirnya kamu pulang Nak!" Teriak sang bunda dengan airmata basah.

"Mas Naryo mau pulang saat libur Lebaran, tetapi batal karena uangnya habis dipakai membetulkan rumah. Maafkan saya, Bu," ungkap istri Sunaryo dengan suara bergetar.

 "Harusnya waktu itu kami pulang. Biarlah longsoran halaman belakang tersebut menunggu hingga kami kembali memiliki rejeki dari jalan yang lain. Mas Naryo rindu dendeng buatan ibu, rindu untuk mencium tangan Ibu seperti dulu ia masih kanak-kanak," lanjut istri Sunaryo dengan nada menyesal.

"Yo, ini Ibu, Nak. Ini tangan ibu," ucap sang bunda sambil mengusap wajah Sunaryo yang sudah kaku tak bernyawa. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun