Mohon tunggu...
Muhammad Zulfadli
Muhammad Zulfadli Mohon Tunggu... Lainnya - Catatan Ringan

Pemula

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Perancis ke Final karena Memenangkan Momen Besar

17 Desember 2022   20:05 Diperbarui: 18 Desember 2022   20:00 807
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelatih timnas Perancis, Didier Deschamps (tengah), merayakan kemenangan atas Inggris pada perempat final Piala Dunia 2022 Qatar bersama Kylian Mbappe dan Antoine Griezmann. (Photo by Anne-Christine POUJOULAT / AFP via kompas.com)

Kemampuan sebuah bangsa bangkit dari keterpurukan tidak bisa dilepaskan dari sejarah bangsa itu sendiri. Semakin panjang sejarah yang dialami, semakin banyak pelajaran yang bisa dipetik untuk keluar dari krisis.

Sama halnya dengan negara besar Eropa lainnya, Perancis yang kini menjadi rumah impian semua orang, pernah pula mengalami masa kegelapan.

Revolusi Perancis (1789-1799) menjadi titik balik sejarah. Perancis menjadi negara terbuka, berpikiran luas, menjadi tempat banyak orang selain mengadu nasib, juga untuk menimba ilmu.

Semangat keterbukaan dan semangat menaklukkan kolonialisme masa lalu menjadi kekuatan Perancis di semua sendi kehidupan. Tak ada negara yang memiliki warna sekaya Perancis.

Dengan sejarah panjang itu, tidak usah heran tim sepak bola Perancis selalu bisa bangkit dari keterpurukan. Bahkan lebih dari itu, mereka seperti lebih bergairah dan memiliki rasa percaya diri tinggi.


***

Pahamilah sejarah tim Perancis dalam lima Piala Dunia terakhir.

Les Bleus sejak memenangkan Piala Dunia 1998 dan Piala Eropa 2000 seperti terseok-seok. Di Piala Dunia 2002, di bawah pelatih Roger Lemerre, penampilan Perancis sebagai juara bertahan sangat memalukan, tersingkir dari penyisihan sebagai juru kunci grup tanpa kemenangan dan tanpa membuat satu gol pun.

Mereka sempat bangkit di Piala Dunia Jerman 2006 yang dipimpin manajer Raymond Domenech, meski dikalahkan Italia di partai final dramatis, diwarnai insiden "tandukan maut" Zinedine Zidane ke dada Marco Materazzi.

Empat tahun kemudian di Afrika Selatan, penampilan Perancis terperosok paling dalam, sekali lagi. Masih dilatih Domenech, mereka bukan hanya tersingkir di penyisihan.

Namun diperparah dengan konflik internal yang memecah tim. Dan belum sepenuhnya teratasi pada era pelatih Laurent Blanc di Piala Eropa 2012.

Baru pada masa kepelatihan Didier Deschamps kita mengingat kembali kesolidan, kekompakan, dan kesatuan suatu tim layaknya Perancis saat Aime' Jaquet mengasuh "Ayam Jantan" pada 1998. Barangkali karena Deschamps sendiri yang ditunjuk Jaquet menjadi kapten saat itu.

Perancis Deschamps melaju babak perempat final Piala Dunia 2014, mencapai final Euro 2016, dan menggapai puncak dengan menjuarai Piala Dunia Russia 2018.

Jika juara bertahan selama ini 'dikutuk' gagal di fase grup, berturut Italia pada 2010, Spanyol pada 2014, Jerman pada 2018, maka Perancis sukses mematahkan mitos tersebut dengan melaju jauh ke pertandingan final yang akan berhadapan dengan favorit kuat dari Amerika Latin, Argentina dengan megabintang Lionel Messi.

Timnas Perancis dibuatnya sebagai keluarga besar yang harmonis. Tak ada curiga, tak ada sekat, tak ada pengkotakan. Tidak ada seorang pun yang menonjol. 

Mereka saling buka ruang, saling isi, dan saling membutuhkan. Inilah yang lama hilang di tim Perancis. Semangat juang, spirit bertempur hingga penghabisan.

Deschamps sukses mengkombinasikan pemain muda yang sarat energi dengan pemain yang sarat pengalaman. Ia adalah motivator ulung, tegas, dan jenius. Otak di balik revolusi sepak bola Perancis. Mengarahkan timnya pada efektivitas.

Kemenangan atas Inggris di perempat final kemudian mengalahkan Maroko di semifinal membuktikan pengalaman Deschamps. 

Kemampuan Deschamps membaca taktik lawan juga brilian, penuh antisipasi. Semua dia lakukan dengan perhitungan cermat lewat visi sederhana, taktis, terukur, dan efektif.

Perancis menang dengan mencetak gol yang dibutuhkan tanpa perlu menguasai bola terlalu lama. Mereka bisa unggul memanfaatkan kesalahan kecil lawan dan kemudian mengunci keunggulan itu. Penampilan solid, efektif dan berpengalaman mengatasi tekanan laga besar.

Kita sudah saksikan, sejak Piala Dunia 2018 dan Piala Dunia 2022, Perancis dua kali ke final dengan cara yang paling efektif sekaligus mematikan. Tak perlu menjalani satu pun laga babak gugur dengan perpanjangan waktu dan adu penalti.

Mereka mulai menuai apa yang dulu telah mereka tabur, semua bersatu demi kejayaan tim. Jika tahun 1998, Les Bleus menggunakan lagu disko klasik Gloria Gaynor, I Will Survive sebagai lagu pembangkit semangat juang.

Sejak era Deschamps mereka mengusung pepatah lama On vit eensemble, On meurt ensemble (kami hidup bersama, kami mati bersama). Semua tentang perjuangan bertahan hidup.

Piala Dunia adalah tempat tim yang paling terorganisasi, paling fit, paling disiplin, dan paling punya mental dan semangat baja yang akan bertahan. Perancis dipimpin Deschamps memiliki semua syarat itu.

Salam Piala Dunia.

Hayya Hayya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun