Mohon tunggu...
Cornelia MariaRadita
Cornelia MariaRadita Mohon Tunggu... Lainnya - Masih Mahasiswa

Selamat Membaca! :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Harriet (2019): Wanita Tangguh yang Tebas Rasisme dengan Pedang Keberanian

11 November 2020   18:26 Diperbarui: 11 November 2020   18:34 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap terbangun dari tidur, saya selalu memikirkan suatu hal yang membuat saya ingin terus mengucap syukur kepada Tuhan YME. Saya bersyukur karena bisa terlahir sebagai manusia yang sudah merdeka.

Saya teringat akan perjuangan besar para pahlawan yang mengupayakan kemerdekaan secara lahir dan batin. Kemerdekaan yang saya maksud bukan semata-mata kemerdekaan dari penjajahan bangsa lain, namun juga kemerdekaan Hak Asasi Manusia yang menjadi dasar kehidupan setiap manusia.

Berbicara mengenai hal ini, saya langsung teringat pada salah satu film yang menceritakan perjuangan HAM, film itu berjudul Harriet (2019). Film ini diangkat dari kisah nyata seorang perempuan berkulit hitam yang sangat tangguh bernama Harriet Tubman, ia hidup di abad 19-an di mana penjajahan terhadap hak hidup masih dirasakan.

Harriet Tubman yang asli. source: bostonglobe.com
Harriet Tubman yang asli. source: bostonglobe.com

Film garapan Kasi Lemmons berhasil membawa penontonnya turut merasakan kisah hidup Harriet yang begitu berat sebagai budak, namun mempunyai semangat yang berkobar untuk memperoleh kebebasan.

Sebelum memperoleh kebebasan, Harriet mempunyai nama lahir Arminta Ross atau kerap disapa Minty. Pergantian nama itu dilakukan untuk menandakan seorang budak kulit hitam telah dibebaskan.

Minty adalah seorang pribadi yang cerdas dan mempunyai iman kuat. Ia juga diberi anugerah untuk dapat melihat masa depan dari mimpi-mimpinya. Sebab itulah ia mengetahui bagaimana nasibnya dan orang-orang di sekitarnya pada hari mendatang.

Kerasnya kehidupan ras kulit hitam di abad 19

Dikisahkan Minty telah menikah dengan sesama kulit hitam bernama Johnny Tubman. Walau telah menikah, nyatanya mereka tidak mempunyai nasib yang sama. Johnny seorang kulit hitam yang bebas (tidak bekerja sebagai budak), sedangkan Minty adalah seorang budak keluarga Broddes dari ras kulit putih.

Ben Ross (Ayah Minty) juga seorang kulit hitam yang bebas, namun karena ia menikah dengan budak, dan pada saat itu terdapat perjanjian di mana anak-anak budak kulit hitam juga harus menjadi budak, maka dari itu anak-anak Ross akhirnya harus ikut menjadi budak.

Minty yang telah merasakan hidup sebagai seorang budak, tidak ingin ia dan anak-anaknya nanti terus diikat dan ditindas oleh kulit putih. Minty dan Johnny pun mengupayakan kebebasan Minty dengan meninjau surat wasiat Atthow Pattinson yang merupakan kakek buyut keluarga Broddes, di mana ia telah menjanjikan kebebasan.

Namun ketika menghadap Edward Broddes, usaha tersebut sia-sia. Edward tidak mau melepaskan budaknya, dan surat tersebut disobek. Minty yang begitu terkejut, hanya bisa menangis dan berdoa sembari bersumpah serapah kepada Tuhan.

Anak Edward, Gideon Brodes mendengar sumpah serapah Minty, ia lalu berkata:

"Tuhan tidak akan mendengarkan doa orang negro, Minty. Aku sudah mengatakan itu padamu sejak kita masih kecil."

Ucapan Gideon terasa begitu merendahkan ras kulit hitam, di mana bahkan Tuhan dianggap tidak menganggap keberadaan mereka. Adegan pembuka ini sudah menunjukkan kuatnya rasisme pada masa itu.

Representasi rasis yang telah menyatu dalam hidup ini adalah adanya pemahaman yang tidak terucap, namun dapat dipahami secara empatik bahwa yang 'putih' itu normal. Sedangkan, berbagai konotasi negatif tentang 'kehitaman' juga dianggap hal yang normal (Susanti, 2014).

Stuart Hall (dalam Susanti, 2014) menggambarkan pandangan orang Amerika kulit putih di abad ke-19 terhadap budak berkulit hitam. Mereka mendukung perbudakan terhadap kulit hitam dan menganggap kulit hitam dilahirkan oleh alam sebagai pelayan.

Dalam Film Harriet, kita dapat melihat dengan jelas bagaimana representasi rasisme yang terjadi pada abad 19. Begitu kejamnya perlakuan segelintir orang yang tidak bisa memanusiakan manusia lain.

"Dia (ayah Gideo Broddes) mengingatkanku 'nak memiliki budak kesayangan sama seperti memiliki babi kesayangan. Kau bisa memberinya makan, kau bisa bermain dengan itu, dan memberinya nama"

Jika disamakan dengan hewan, apakah kamu bisa menerimanya? Saya yakin tidak.

Anggapan-anggapan bahwa kulit putih adalah orang-orang yang sangat terhormat, sedangkan kulit hitam adalah orang-orang hina yang layak menjadi budak pada masa itu memang sangat kental. Tentu sungguh tersiksa ketika hidup ditindas terus menerus. Dipaksa untuk bekerja rodi pagi hingga malam, dan dilukai secara fisik.

Dalam beberapa adegan dimunculkan tindakan kasar orang-orang kulit putih terhadap kulit hitam. Budak-budak dipukul dan dicambuk oleh mandor jika melakukan pelanggaran. Bahkan orang kulit hitam yang berstatus bebas pun tetap diperlakukan kasar.

source: christianitytoday.com
source: christianitytoday.com

Bahkan, pendeta kulit hitam bernama Samuel Green pun terlihat berupaya mencari aman dengan memberikan kothbah-kothah yang membahas mengenai kebaikan kaum kulit putih. Padahal pendeta yang merupakan seorang tokoh agama, sudah seharusnya dapat bersikap sesuai dengan jalan kebenaran.

Saya menemukan satu adegan film yang sederhana, namun sarat akan makna. Adegan tersebut saat pemakaman Edward Broddes, di mana keluarga Broddes yang adalah kulit putih berada di sisi sebelah kanan dengan pakaian hitam dan mewah, sedangkan segerombol kulit hitam terpisah di sebelah kiri dengan pakaian seadanya.

Adegan tersebut memperlihatkan perbedaan kasta antara kulit hitam dan kulit putih yang terjadi pada abad 19 yang sangat kental, di mana bahkan untuk bergabung secara fisik terlihat sudah sangat tidak layak.

Rasisme kulit hitam di Amerika yang terjadi pada masa itu sangat mengiris hati saya. Saya terhanyut dalam film dan tidak sanggup membayangkan betapa kerasnya hidup kaum berkulit hitam.

Perjuangan dari Minty, menjadi Harriet

Setelah kematian Edward, Gideon Broddes memegang kendali atas budak-budak yang dimiliki keluarganya. Pada saat itulah Gideon memutuskan untuk menjual Minty.

Minty yang mempunyai kemampuan melihat masa depan, dapat merasakan takdir buruk sudah sangat dekat. Dari situ, Minty bertekad untuk mengubah takdir dengan memilih kabur dan membebaskan diri.

Pada adegan setelahnya, diperlihatkan Minty berpapasan dengan Johnny suaminya, dan meminta izin untuk pergi membebaskan diri supaya keluarga kecil mereka nantinya dapat hidup dengan bahagia dan bebas dari perbudakan.

source: newyorker.com
source: newyorker.com

Johnny mulanya memaksa untuk ikut pergi bersama Minty. Namun, Minty dengan hati mulianya tidak ingin Johnny terkena imbas jika pelarian mereka gagal. Ia pun memilih untuk menghindari Johnny dan kabur seorang diri.

Perjuangan Minty untuk kabur tidak mudah. Harus berlari dari Maryland menuju Philadelphia yang merupakan markas komunitas anti perbudakan tentu begitu menguras tenaga, belum lagi ketika ia nyaris mati tenggelam.

Dengan berbekal kepercayaan bahwa "Aku jalan bersama dengan Tuhan," dan terus berdoa. Minty dapat melewati semua itu. Keberhasilannya sampai di Philadelphia membuat Minty akhirnya merubah namanya menjadi Harriet Tubman, sebagai lambang budak yang bebas.

Tanpa disadari, kita dapat melihat jiwa patriotis yang ada dalam diri Harriet. Ia begitu cerdas dalam menyusun strategi untuk memperjuangkan kemerdekaan perbudakan terhadap kulit hitam.

Harriet mulai menjemput kerabat-kerabatnya di Maryland untuk dibebaskan. Dengan penuh tekad, Harriet memimpin seluruh perjalanan para budak yang ia bebaskan dan berhasil sampai di tempat tujuan.

Melawan diskriminasi dan prasangka dalam rasisme bukanlah hal yang mudah, terutama ketika hal itu sudah melekat dalam masyarakat mayoritas.

Prangsangka kulit hitam sebagai orang jahat dan rendah turut diperlihatkan dalam film Harriet. Adegan ketika Eliza Broddes (Ibu Gideon) frustasi sebab budak-budak yang akan dijual untuk membayar hutang dicuri oleh Harriet, kemudian mulai memprovokasi sesama kulit putih untuk semakin membenci kulit hitam dengan mengatakan bahwa kulit hitam jahat dan licik.

source: youtube.com
source: youtube.com

Tanpa berfikir panjang, gerombolan kulit putih tersebut langsung menyetujui ucapan Eliza. Mereka mulai gencar mencari Harriet yang dijuluki 'Moses si Pencuri Budak', terlebih setelah mengetahui bahwa pencuri budak itu adalah kulit hitam.

Hal itu merepresentasikan kuatnya prasangka yang melekat dalam masyarakat saat itu. Diskriminasi pun ikut memainkan peran, di mana aksi sekelompok kulit putih untuk menangkap 'Moses si Pencuri Budak' ketika mengetahui bahwa orang tersebut berkulit hitam berbeda dengan kabar awal yang mengatakan bahwa 'Moses' berkulit putih.

Harriet tentu menjadi pahlawan yang sangat hebat bagi kaumnya. Jasanya yang berhasil membebaskan lebih dari 700  budak kulit hitam, menjadi inspirasi bagi banyak ras kulit hitam untuk berani mendobrak diskriminasi dan perubudakan.

Harriet menjadi salah satu pahlawan yang membuka gerbang keadilan bagi kulit hitam supaya dapat hidup layak dan setara dengan kulit putih. Ia menekankan bahwa kaumnya tidak dapat disamakan dengan properti yang bisa dijual dan dibeli. Dengan keyakinan penuh dan percaya akan penyertaan Yang Maha Kuasa, Harriet mampu menyelamatkan mereka yang tertindas.

"Raungan generasi muda yang mati di sekitarmu secara sia-sia hanya untuk tujuan yang hilang, untuk pemikiran yang kejam, dan untuk dosa-dosa perbudakan. Kau bisa mendengarnya? Tuhan sudah tunjukkan jalan bahwa kaumku bebas. Kaum ku Bebas!"

HIDUP PAHLAWAN!

Referensi:

Susanti, Billy. (2014). Analisis Resepsi Terhadap Rasisme Dalam Film (Studi Analisis Resepsi Film 12 years A Slave pada mahasiswa Multi Etnis. Skripsi thesis: Universitas Muhammadiyah Surakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun