Minty yang telah merasakan hidup sebagai seorang budak, tidak ingin ia dan anak-anaknya nanti terus diikat dan ditindas oleh kulit putih. Minty dan Johnny pun mengupayakan kebebasan Minty dengan meninjau surat wasiat Atthow Pattinson yang merupakan kakek buyut keluarga Broddes, di mana ia telah menjanjikan kebebasan.
Namun ketika menghadap Edward Broddes, usaha tersebut sia-sia. Edward tidak mau melepaskan budaknya, dan surat tersebut disobek. Minty yang begitu terkejut, hanya bisa menangis dan berdoa sembari bersumpah serapah kepada Tuhan.
Anak Edward, Gideon Brodes mendengar sumpah serapah Minty, ia lalu berkata:
"Tuhan tidak akan mendengarkan doa orang negro, Minty. Aku sudah mengatakan itu padamu sejak kita masih kecil."
Ucapan Gideon terasa begitu merendahkan ras kulit hitam, di mana bahkan Tuhan dianggap tidak menganggap keberadaan mereka. Adegan pembuka ini sudah menunjukkan kuatnya rasisme pada masa itu.
Representasi rasis yang telah menyatu dalam hidup ini adalah adanya pemahaman yang tidak terucap, namun dapat dipahami secara empatik bahwa yang 'putih' itu normal. Sedangkan, berbagai konotasi negatif tentang 'kehitaman' juga dianggap hal yang normal (Susanti, 2014).
Stuart Hall (dalam Susanti, 2014) menggambarkan pandangan orang Amerika kulit putih di abad ke-19 terhadap budak berkulit hitam. Mereka mendukung perbudakan terhadap kulit hitam dan menganggap kulit hitam dilahirkan oleh alam sebagai pelayan.
Dalam Film Harriet, kita dapat melihat dengan jelas bagaimana representasi rasisme yang terjadi pada abad 19. Begitu kejamnya perlakuan segelintir orang yang tidak bisa memanusiakan manusia lain.
"Dia (ayah Gideo Broddes) mengingatkanku 'nak memiliki budak kesayangan sama seperti memiliki babi kesayangan. Kau bisa memberinya makan, kau bisa bermain dengan itu, dan memberinya nama"
Jika disamakan dengan hewan, apakah kamu bisa menerimanya? Saya yakin tidak.
Anggapan-anggapan bahwa kulit putih adalah orang-orang yang sangat terhormat, sedangkan kulit hitam adalah orang-orang hina yang layak menjadi budak pada masa itu memang sangat kental. Tentu sungguh tersiksa ketika hidup ditindas terus menerus. Dipaksa untuk bekerja rodi pagi hingga malam, dan dilukai secara fisik.