Mohon tunggu...
Cornelia MariaRadita
Cornelia MariaRadita Mohon Tunggu... Lainnya - Masih Mahasiswa

Selamat Membaca! :)

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Gundala, "Manusia Harus Perjuangkan Keadilan"

24 September 2020   18:34 Diperbarui: 2 Oktober 2020   15:29 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tahun 2019 silam, Indonesia berhasil merilis banyak film dengan kualitas cerita dan visual yang sangat baik. Sebut saja salah satunya film garapan sutradara Joko Anwar yaitu Gundala (2019).

Sebuah gebrakan baru bagi dunia perfilm-an Indonesia, di mana film ini diangkat dari komik Gundala Putra Petir (1969) karya Hasmi, dengan mengangkat realita kehidupan yang ‘gelap’ di Indonesia.

Film ini menceritakan seorang pemuda bernama Sancaka yang menjalani kehidupan yang sangat kelam, di mana sedari kecil ia hidup kurang berkecukupan dan harus ditinggalkan oleh kedua orang tuanya.

Terbiasa hidup sendiri sedari kecil menumbuhkan sikap mandiri, dingin, dan apatis dalam diri Sancaka. Hingga di suatu waktu, Sancaka mendapat kekuatan petir yang menjadikannya manusia super.

source: https://popculture.id/ada-godam-di-balik-bat-eh-film-gundala-2019-simak-trailernya/
source: https://popculture.id/ada-godam-di-balik-bat-eh-film-gundala-2019-simak-trailernya/

Atas pemberian ini, Sancaka mulai berubah menjadi pribadi yang peduli akan sekitarnya, dan berupaya membantu orang-orang yang ditindas oleh para penguasa. Pengkor seorang mafia kaya raya menjadi salah satu musuh besar Sancaka yang kemudian menjadi Pahlawan Super bernama Gundala.

Banyak adegan yang menggambarkan situasi terkini. Kritik demi kritik ditampilkan secara nyata dalam film, mulai dari kritik sosial, ekonomi, dan politik. Karena itu, film ini pun masuk ke dalam paradigma kritis.

Paradigma membantu penonton untuk melihat dan mem-fokuskan pesan yang diangkat dalam film. Paradigma dalam film sendiri dibagi menjadi empat yaitu Paradigma Fisiologis, Paradigma Empiris, Paradigma Fenomenologi, dan Paradigma Kritis.

Di artikel ini saya akan membahas mengenai Paradigma Kritis melalui film Gundala.

Paradigma Kritis (dalam Fauziah & Nasionalita, 2018, h. 84) adalah proses untuk menemukan suatu hal yang sebenarnya terjadi dalam pandangan peneliti, pengalaman yang ditampilkan belum tentu terkait dengan dirinya sendiri.

Paradigma kritis berupaya untuk mengungkap the real structure, yang bertujuan untuk membentuk kesadaran sosial supaya memperbaiki kehidupan manusia (Fauziah & Nasionalita, 2018, h. 84).

Lalu, dalam film Gundala kritik sosial apa saja sih yang ingin disampaikan? Yuk langsung saja kita simak ke pembahasan berikut!

- Kurangnya kesejahteraan dan ketidakadilan kaum kecil

source: svarga news
source: svarga news

Adegan pembukaan pada film Gundala (2019) sudah menunjukkan hal tersebut. Kilas balik masa kecil Sancaka, di mana ayah dan teman-temannya yang bekerja sebagai buruh di suatu perusahaan tidak mendapatkan gaji yang layak, hingga melakukan aksi protes.

Aksi protes bukan semata-mata dilakukan untuk mencari masalah, namun untuk memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan bagi para buruh pekerja. “Kalau kita tidak memperjuangkan keadilan, itu namanya kita bukan manusia lagi”, kutipan dari ayah Sancaka memberikan petunjuk bahwa manusia dari golongan manapun layak mendapat keadilan.

Naas, rekan kerja ayah Sancaka dibutakan oleh janji pemberian uang yang akan diberikan pemilik perusahaan, dengan syarat menjebak dan membunuh ayah Sancaka yang merupakan pentolan dalam aksi protes tersebut.

source: kincir.com
source: kincir.com

Kehidupan keluarga Sancaka menjadi semakin rumit, kesejahteraan hidup seolah semakin jauh dari keluarga mereka. Ketidakadilan akan hidup terlihat jelas, di mana bahkan nyawa menjadi taruhan. Kaum kecil semakin ditindas oleh mereka yang berkuasa.

Adegan ini menggambarkan kehidupan di negeri kita, di mana kesejahteraan para pekerja belum merata. Kaum kecil dengan mudahnya dikalahkan oleh mereka yang berkuasa, dan di sini terlihat bahwa uang adalah segalanya.

- Penguasa menghalalkan segala cara untuk memenuhi ambisi

Ambisi untuk dihormati ditampilkan dalam film ini ketika Pengkor merasa tersinggung karena uluran tangannya ditolak oleh seorang Legislatif muda, sebab latar belakang Pengkor yang seorang mafia ilegal.

source: https://id.bookmyshow.com/blog-hiburan/sekilas-tentang-pengkor-si-licik-lawan-tangguh-gundala/
source: https://id.bookmyshow.com/blog-hiburan/sekilas-tentang-pengkor-si-licik-lawan-tangguh-gundala/

Rasa dendam karena tidak dihormati berujung pada pembunuhan ‘bersih’ yang dilakukan salah satu anak buahnya, dengan cara menghipnotis, sehingga terkesan bahwa Legislatif muda tersebut mati bunuh diri. Walau begitu, Pengkor hanya ingin korbannya meminta maaf dan menyesali perbuatannya.

Adapun adegan lain yang menggambarkan poin ini yaitu ketika Pengkor melakukan segala cara supaya anggotanya dapat masuk ke jajaran legislatif supaya orang-orang di dalamnya nantinya dapat diatur oleh Pengkor.

Pengkor juga tidak segan menyingkirkan orang-orang lain yang tidak menghormatinya. Pembunuhan menjadi cara yang digunakan. Khasusnya pun bisa ditutupi hanya dengan uang.

Pengkor berupaya masuk ke dalam jajaran legislatif dengan menyingkirkan pejabat-pejabat senior, dan berupaya memancing simpati masyarakat. Ambisi untuk dapat menguasai negeri dan membentuk generasi tanpa moral menjadi awal perseteruan Gundala dan Pengkor.

Di samping Pengkor, dalam adegan ditunjukkan pula para legislator yang menghalalkan segala cara untuk dapat menduduki kursi legislatif, cotohnya dapat ditemukan dalam perkataan Ridwan Bahri.

“Saya bukan orang paling suci, saya juga bajingan. Saya pernah menghalalkan segala cara untuk bisa duduk di kursi ini”

Walau tidak keji layaknya Pengkor, Ridwan yang mempunyai perawakan tenang dan bijaksana pun pernah melakukan tindakan tersebut untuk memenuhi ambisi menjadi seorang anggota legislatif. Meskipun begitu, Ridwan ingin membalas tindakan buruknya dengan membantu rakyat.

Terdapat salah satu ucapan Pengkor yang membekas, di kala Sancaka berupaya melawan Pengkor dan anak buahnya sendirian.

“Setiap kekuasaan yang semakin besar, maka duri juga akan semakin besar. Tapi duri bisa dengan cepat dipatahkan. Apa yang paling berbahaya adalah harapan. Harapan bagi rakyat adalah candu, dan candu itu bahaya.”

Bagi Pengkor, orang yang melawan kekuasaan akan dengan mudahnya dihancurkan. Harapan tidak pernah berarti bagi Pengkor, karena harapan rakyat hanya angan-angan yang menyakitkan dan tidak adak dipenuhi pemerintah.

Di Indonesia sendiri khasus semacam ini cukup marak terjadi, di mana orang-orang yang mempunyai kuasa namun masih haus akan kekuasaan melakukan berbagai macam cara, hingga tak segan mengambil hak hidup orang lain untuk dapat sampai pada posisi itu.

Cara-cara kotor perupa fitnah, kampanye hitam, politik uang masih menjamur di negeri ini. Mereka yang berasal dari latar belakang berada dapat dengan mudahnya ‘membeli’ hal-hal yang sukar sekalipun.

Bagi kaum dominan, tidak ada harapan bagi rakyat kecil. Semua yang diharapkan rakyat hanyalah hal mustahil yang tidak mungkin dicapai.

- Seluruh Rakyat Harus Memperoleh Keadilan yang sama

Rakyat boleh menyuarakan pendapatnya demi kemajuan bangsa, sayangnya terkadang mereka yang menyuarakan pendapat justru dibungkam oleh penguasa.

Namun, bersatunya seluruh rakyat dapat memberantas praktik tersebut. Bersatunya rakyat dapat menciptakan keadilan merata secara perlahan. Bersatunya harapan yang sama dapat membangkitkan semangat keadilan bersama.

soruce: idmtimes.com
soruce: idmtimes.com

 “Mereka-mereka ini kemarin gak punya Harapan. Tapi karna kamu datang, mereka punya”

“Saya sih gak tahu itu hoaks ato engga, tapi bikin semangat. Daripada wakil rakyat, emang mereka mikirin rakyat?”

Dari semangat tokoh Gundala untuk menyelamatkan kaum tertindas dan memperjuangkan keadilan, memunculkan api dalam jiwa orang-orang tertindas untuk berani menghadapi penguasa yang bersikap tidak adil.

The real structure ditunjukkan dalam film ini, di mana warga negara dari semua golongan beserta pejabat seharusnya saling membantu, saling menerima masukan dari bawah maupun dari atas, sehingga berjalan dengan seimbang.

Kritik keras yang ditujukan untuk para kaum penguasa dan pejabat negara dalam film ini dapat dilihat dan dirasakan dengan jelas. Real structure dalam kehidupan bernegara di mana wakil rakya seharusnya menyejahterakan rakyat, dan rakyat yang berusaha mendukung pemerintah dengan memberikan kritik dan saran yang membangun banyak ditunjukkan dalam film.

Kekuasaan uang nyatanya pun tidak selamanya membuahkan hasil baik. Contohnya dalam adegan ketika orang-orang berada menyuap petugas medis supaya istri mereka diberi faksin terlebih dahulu, padahal sesuai aturan seharusnya mereka berbaris menunggu gilirannya.

Dan petaka, rupaya vaksin yang terlanjur diberikan kepada istri dari pria-pria yang berasal dari keluarga berada tersebut ternyata sudah diberi cairan yang membahayakan janin.

Kesenjangan sosial perlu dihapuskan. Semua warga negara boleh memperoleh keadilan yag sama. Tidak ada sekat antara kaum lemah dan mereka yang berkuasa. Tanpa rakyat pemerintah tidak akan mendapat dukungan, dan tanpa rakyat yang berdaulat bangsa tidak akan pernah utuh.

 

“Kami butuh bantuan kamu untuk negeri. Kamu siapa?”

“Rakyat”

 

Referensi:
Fauziyah, S., & Nasionalita, K. (2018). Counter Hegemoni Atas Otoritas Agama Pada Film (Analisis Wacana Kritis Fairclough Pada Film Sang Pencerah). Jurnal Ilmu Komunikasi, 48(1).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun