Mohon tunggu...
Girindra Sandino
Girindra Sandino Mohon Tunggu... Penulis Bebas

Berimajinasi, menulis, dan abadi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menggagas Protokol Integritas Algoritmik Untuk Penyelenggaraan Pemilu

2 Oktober 2025   10:49 Diperbarui: 2 Oktober 2025   10:54 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Ilustrasi Pemilu dan Keadilan.Algoritmik


Kontestasi demokrasi di era digital tak lagi identik dengan hiruk pikuk kampanye di lapangan atau debat panas di layar televisi. Arena pertarungan kini telah berpindah ke genggaman, tempat algoritma media sosial menjadi wasit tak terlihat yang menentukan siapa yang layak didengarkan dan narasi mana yang berhak berkuasa.

Sayangnya, sarana yang menjanjikan partisipasi dan keterbukaan tersebut justru menjadi ancaman paling serius bagi integritas pemilu. Isu yang fundamental bukanlah sekadar hoaks, melainkan ketidakadilan yang tertanam dalam kode-kode algoritma, sebuah fenomena yang saya sebut sebagai Keadilan Algoritmik.

Konsep keadilan pemilu kini harus diperluas. Jika sebelumnya kita fokus pada integritas prosedural---seperti transparansi penghitungan suara dan netralitas penyelenggara---kini kita wajib menuntut keadilan dalam lingkungan informasi itu sendiri.

Keadilan Algoritmik, sebuah prinsip yang digagas oleh organisasi seperti Algorithmic Justice League (AJL), menuntut sistem kecerdasan buatan (AI) untuk beroperasi secara adil dan akuntabel, tanpa memperkuat bias atau merugikan pandangan politik tertentu (AJL: 2016).

Apabila algoritma secara sistematis memprioritaskan satu kubu, maka prinsip dasar demokrasi, yakni kesetaraan politik, telah runtuh bahkan sebelum pemilih melangkah ke bilik suara.

Ruang publik digital telah menjadi arena di mana sistem otomatis dapat secara tidak adil mempengaruhi kelompok atau hasil tertentu, sehingga merusak prinsip-prinsip demokrasi.

Algorithmic Democratic Bias

Hal ini dikenal sebagai Algorithmic Democratic Bias. Bias algoritma dapat terjadi secara tidak sengaja dari cara sistem dirancang atau data yang digunakan untuk melatihnya.

Akibatnya, bukannya menjadi ruang diskusi yang rasional dan inklusif, algoritma media sosial justru mengorkestrasi sistem politik yang "tersegmentasi" atau "monolitik," di mana setiap kelompok ideologis hanya berkomunikasi di dalam lingkaran mereka sendiri.

Hal yang begitu tentu dapat mengancam kemampuan masyarakat untuk menyelesaikan konflik secara damai dan rasional.

Pengaruh algoritma terhadap partisipasi dan sosialisasi politik sangatlah kontras. Di satu sisi, platform digital memang meningkatkan kesadaran politik, terutama di kalangan Gen Z yang menganggap media sosial sebagai sumber informasi utama mereka (Al Fatih: 2023).

Akan tetapi, di sisi lain algoritma mendorong interaksi melalui konten yang memicu emosi dan perpecahan, mengaburkan batas antara partisipasi yang bermakna dan aktivitas digital yang dangkal.

Partisipasi yang dimediasi oleh algoritma seringkali bukan tentang diskusi substantif, melainkan tentang amplifikasi emosi dan engagement tanpa substansi.

Dua fenomena kunci yang mengancam keadilan algoritmik adalah gelembung filter (filter bubble) dan ruang gema (echo chamber). Meskipun sering disamakan, keduanya memiliki perbedaan mendasar.

Echo chamber merujuk pada ruang komunikasi di mana individu secara sadar memilih untuk mengurung diri bersama orang-orang yang memiliki pandangan serupa (Sunstein: 2001).

Di samping itu, filter bubble adalah ekosistem informasi pribadi yang diciptakan oleh algoritma tanpa disadari oleh pengguna, berdasarkan riwayat perilaku mereka (Pariser: 2011). Kedua fenomena tersebut bersinergi, memperkuat kecenderungan alami manusia untuk mencari informasi yang mengonfirmasi keyakinan mereka (confirmation bias) (Terren & Borge-Bravo: 2021).

Data empiris menunjukkan bahwa algoritma memainkan peran signifikan dalam mempercepat polarisasi. Sebuah studi pada 2016 menemukan bahwa paparan terhadap konten negatif atau komentar yang menghina lawan politik di media sosial membuat orang menjadi lebih terpolarisasi secara ideologis (Heiss et al.: 2019).

Bahkan, ada bukti bahwa paparan terhadap konten yang bertentangan justru dapat membuat seseorang semakin teguh pada keyakinan awalnya (Dubois & Blank: 2018).

Algoritma tidak menciptakan bias dari nol; ia hanya mengamplifikasi kecenderungan kognitif bawaan manusia, menciptakan siklus umpan balik yang semakin mempersempit pandangan dunia pengguna.

Sebuah studi di Princeton University menunjukkan bahwa bahkan tanpa algoritma, pengguna Twitter yang terus-menerus berinteraksi dengan berita dari sumber yang mereka sukai secara tidak sadar mengisolasi diri ke dalam "gelembung epistemik" mereka sendiri (Princeton University: 2020).

Algoritma kemudian dengan cepat mendeteksi kecenderungan tersebut dan mempercepatnya, membuat polarisasi menjadi otomatis.

Gagasan Protokol Integritas Algoritmik Nasional (PIAN)

Ancaman terhadap keadilan algoritmik paling nyata terlihat dalam kasus manipulasi pemilu. Skandal Cambridge Analytica pada 2018 adalah contoh paling ikonik tentang penyalahgunaan data.

Perusahaan tersebut menggunakan data dari hingga 87 juta profil Facebook untuk membangun profil psikografis yang sangat rinci (Bipartisan Policy Center: 2018). Data ini kemudian digunakan untuk mikrotargeting, yaitu penargetan pesan politik yang sangat personal dan manipulatif kepada segmen pemilih yang rentan (Wylie: 2018).

Facebook akhirnya didenda $5 miliar oleh Federal Trade Commission AS atas pelanggaran privasi ini (FTC: 2019) , sekalipun kerusakannya telah terjadi. Skandal tersebut mengungkap betapa usangnya model persetujuan tradisional di era digital dan hilangnya kepercayaan publik pada platform.

Taktik manipulasi terus berkembang. Kini, masalah yang paling mengkhawatirkan adalah penyebaran hoaks dan propaganda yang diproduksi secara masif oleh aktor-aktor dalam negeri.

Kominfo mengidentifikasi 117 isu hoaks terkait pemilu antara Januari 2022 hingga November 2023, dan 160 isu hoaks lainnya antara Juli 2023 hingga Januari 2024 (Komdigi: 2024).

Untuk menghadapi ancaman tersebut, respons yang reaktif tidak lagi memadai. Dibutuhkan sebuah kerangka kebijakan yang proaktif dan komprehensif. Uni Eropa telah memimpin dengan Regulasi Transparansi dan Penargetan Iklan Politik (TTPA) yang mulai berlaku pada April 2024.

Regulasi tersebut melarang penargetan pemilih menggunakan data sensitif dan mewajibkan platform untuk membuat repositori iklan politik publik (European Union: 2024).

Sementara itu, Amerika Serikat mengusulkan Platform Accountability and Transparency Act (PATA), yang mewajibkan platform menyediakan data dan metrik kepada peneliti independen (Congress.gov: 2023).

Indonesia harus belajar dari kedua pendekatan tersebut. Oleh sebab itu, saya mengusulkan kerangka holistik yang disebut Protokol Integritas Algoritmik Nasional (PIAN), yang didasarkan pada tiga pilar. Pertama, perlu adanya Transparansi dan Akuntabilitas Wajib dengan mengadopsi prinsip TTPA.

Hal ini akan mewajibkan semua iklan politik digital, termasuk yang dibayar melalui influencer dan buzzer, untuk terdaftar dan dipublikasikan dalam repositori publik.

Kedua, pembentukan Audit Algoritma Independen diperlukan. Badan pengawas gabungan yang terdiri dari KPU, Bawaslu, Kominfo, dan pakar teknis independen dari universitas atau masyarakat sipil harus diberi mandat hukum untuk melakukan audit rutin terhadap algoritma platform. Langkah ini menjembatani kesenjangan pengetahuan teknis antara regulator dan platform, memastikan akuntabilitas dari luar.

Terakhir, Literasi Digital Kritis untuk masyarakat harus ditingkatkan. Kampanye literasi tidak boleh lagi hanya mengajarkan cara mendeteksi hoaks. Masyarakat harus diajari cara kerja algoritma, mengapa mereka melihat konten tertentu, dan bagaimana interaksi mereka dapat membentuk gelembung informasi.

Perjuangan untuk demokrasi di era digital bukan lagi tentang siapa yang bersuara paling lantang, melainkan siapa yang mampu menguasai algoritma. Jika kita gagal menuntut keadilan dari kode-kode yang mengatur informasi kita, maka demokrasi akan terkunci di dalam gelembung algoritma yang dibuat oleh orang lain.

Keadilan Algoritmik bukan hanya konsep, melainkan prasyarat untuk memastikan pemilu tetap adil, independen, dan berintegritas.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun