Keberadaannya dalam posisi kepemimpinan di Kesultanan Banjar pada masa perang menunjukkan bahwa beliau adalah salah satu pilar perlawanan yang disegani oleh Belanda.
Mitos “Ilmu Kebal” dan Taktik Pengasingan Kolonial
Salah satu aspek yang paling menarik dari kisah Pangeran Wirakusumah adalah narasi mengenai kekuatan spiritualnya. Menurut arsip Belanda yang ditulis oleh Van Res, serdadu kolonial pernah menembaki Sultan Wirakusumah II dengan senapan dan mortir, namun konon hanya pakaiannya yang robek tanpa melukai fisiknya secara berarti.
Peristiwa ini memunculkan keyakinan di kalangan Belanda bahwa beliau memiliki "ilmu kebal" yang bersumber dari tanah kelahirannya, Kalimantan.
Pemahaman Belanda terhadap kekuatan Pangeran Wirakusumah ini melampaui sekadar pertempuran fisik.
Mereka menyimpulkan bahwa selama beliau masih berpijak di tanah Banua, mustahil baginya untuk ditaklukkan. Oleh karena itu, strategi militer konvensional menjadi tidak efektif. Alih-alih membunuhnya, Belanda memilih pendekatan yang lebih strategis: mengasingkannya jauh dari tanah leluhurnya, ke Pulau Jawa.
Tindakan ini menunjukkan bahwa Belanda memahami hubungan mendalam antara seorang pemimpin dengan basis spiritual dan kulturalnya. Pengasingan adalah bentuk perang psikologis dan spiritual, yang bertujuan untuk melemahkan perlawanan tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara simbolis.
Keputusan untuk membuang seorang pangeran yang dianggap "kebal" adalah pengakuan atas karisma dan wibawa luar biasa yang dimilikinya, yang jauh lebih ditakuti daripada sekadar kekuatan fisik.
Diasingkan Belanda Ke Cianjur
Pangeran Wirakusumah II diasingkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda ke Cianjur, Jawa Barat, pada tanggal 3 Maret 1862. Tanggal ini sangat signifikan karena hanya selang beberapa hari setelah penangkapan Pangeran Hidayatullah pada 28 Februari 1862.
Pengasingan ini tidak hanya menimpa beliau, tetapi juga keluarganya. Pangeran Muhammadilah (Wirakusuma III), putra Pangeran Wirakusumah, juga diasingkan bersamanya pada tanggal yang sama, saat ia masih berusia 9 tahun.
Peristiwa ini merupakan bagian dari taktik Belanda untuk mengamankan kekuasaan dan menghentikan Perang Banjar yang berkepanjangan. Konflik ini telah berlangsung sejak tahun 1859 dan menimbulkan kerugian besar bagi pihak kolonial. Pangeran Hidayatullah adalah pemimpin utama perlawanan, dan penangkapannya dianggap sebagai titik balik.