Strategi pengasingan kolonial bertujuan untuk memisahkan para pemimpin dari rakyatnya dan menghapus jejak pengaruh mereka. Akan tetapi, dalam kasus ini, pengasingan justru menciptakan sebuah identitas hibrida yang unik, memadukan akar Banjar dengan kehidupan di Cianjur.
Kelanjutan garis keturunan ini menunjukkan bahwa upaya Belanda untuk memadamkan semangat perlawanan tidak sepenuhnya berhasil.Â
Identitas, warisan, dan semangat perjuangan Pangeran Wirakusumah tetap hidup melalui keturunannya, yang menjadi pengemban memori sejarah di tanah pengasingan.
Terdapat kekeliruan umum di mana kisah Pangeran Wirakusumah sering disamakan dengan Pangeran Hidayatullah, yang juga diasingkan ke Cianjur. Sejumlah sumber secara spesifik membahas makam Pangeran Hidayatullah di Cianjur dan yayasan yang merawatnya, tanpa menyebut Pangeran Wirakusumah.
Faktanya, Pangeran Wirakusumah II dan Pangeran Hidayatullah II adalah dua individu yang berbeda. Mereka memiliki hubungan kekeluargaan yang erat sebagai sesama cucu Sultan Adam Al-Watsiq Billah.
Lebih dari itu, Pangeran Wirakusumah adalah mangkubumi atau perdana menteri bagi Pangeran Hidayatullah. Kronologi pengasingan mereka juga hampir bersamaan; Pangeran Hidayatullah ditangkap pada 28 Februari 1862 dan Pangeran Wirakusumah diasingkan pada 3 Maret 1862.
Kedekatan hubungan, posisi kepemimpinan, dan waktu pengasingan yang berhimpitan ini menyebabkan narasi mereka sering kali menyatu dalam memori kolektif.
Tetapi, untuk menjaga akurasi sejarah, penting untuk membedakan peran dan identitas mereka masing-masing sebagai pahlawan yang terpisah namun berjuang dalam satu front.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI