Pendidikan sejatinya bukan sekadar urusan ruang kelas dan angka rapor. Ia adalah perjalanan membentuk manusia seutuhnya - yang bahagia belajar, berani berpendapat, dan peduli pada sesama. Namun, di banyak tempat, sekolah masih sering menjadi ruang penuh tekanan: nilai tinggi lebih penting dari rasa nyaman, aturan lebih keras dari empati, dan prestasi akademik lebih dihargai daripada karakter.
Padahal, sekolah yang ideal adalah tempat di mana setiap anak merasa diterima, dihargai, dan dilindungi. Tempat yang tidak hanya mendidik otak, tapi juga mengasah hati.
Inilah semangat yang hendak dihidupkan melalui gerakan Sekolah Ramah untuk Semua - sebuah gagasan bahwa belajar akan tumbuh subur di lingkungan yang aman, nyaman, dan menggembirakan.
Dari Rumah ke Sekolah: Sinergi yang Membentuk Karakter
Sebelum anak melangkah ke gerbang sekolah, rumah adalah tempat pertama mereka belajar tentang kasih sayang, disiplin, dan tanggung jawab. Di sanalah nilai-nilai dasar terbentuk. Orang tua menjadi “guru pertama” yang memperkenalkan arti menghargai, mendengar, dan berbuat baik.
Namun, hubungan antara rumah dan sekolah tidak boleh terputus di pagar. Kolaborasi keduanya sangat penting. Guru tidak bisa sendirian menciptakan lingkungan belajar yang positif tanpa dukungan keluarga. Begitu pula sebaliknya, orang tua tidak bisa hanya menyerahkan seluruh tanggung jawab pendidikan kepada sekolah.
Beberapa waktu lalu, publik ramai memperbincangkan kasus di Banten. Seorang kepala sekolah dinonaktifkan karena menampar siswa yang ketahuan merokok di lingkungan sekolah. Siswa tersebut jelas melanggar aturan, namun orang tuanya memilih melapor ke pihak berwajib.
Kasus ini kemudian memicu reaksi luas: sebagian masyarakat menilai tindakan kepala sekolah berlebihan, sementara tak sedikit pula yang justru mendukungnya karena melihatnya sebagai bentuk disiplin.
Terlepas dari siapa yang benar atau salah, peristiwa ini bisa menjadi bahan renungan bersama. Bahwa pendidikan karakter membutuhkan keseimbangan antara ketegasan dan kasih sayang, antara disiplin dan dialog. Guru perlu berhati-hati dalam menegakkan aturan, tetapi orang tua pun seharusnya mendukung sekolah dalam mendidik anak agar memahami batas.
Perubahan zaman memang membuat pola pikir orang tua berbeda dengan dulu. Jika dulu anak yang dimarahi guru akan ditegur kembali di rumah, kini sebagian orang tua justru lebih cepat membela anaknya tanpa mencari duduk perkara. Padahal, pendidikan tidak akan berhasil jika guru dan orang tua berdiri di sisi yang berlawanan.