Mereka berputar dalam lingkaran emosi yang sama: marah, sedih, bersalah, dan bertahan. Film ini mengajarkan satu hal sederhana namun menohok; bahwa hidup bukan soal menukar takdir, melainkan belajar menerimanya dengan utuh.
Sebagai drama eksistensial, Tukar Takdir punya nyawa yang kuat. Ia tidak hanya menggugah, tapi juga meninggalkan gema panjang setelah kredit akhir bergulir. Film ini membuat penonton bertanya: Bagaimana jika yang selamat bukan keberuntungan, melainkan ujian? Dan bagaimana jika kesempatan kedua justru datang untuk menguji seberapa besar kita mencintai hidup yang tersisa?
Film Tukar Takdir adalah karya sinematik yang matang secara visual, emosional, dan filosofis. Ia menantang penonton untuk menyelami batas antara hidup dan rasa bersalah, antara penyesalan dan penerimaan. Film ini bukan tontonan ringan, tetapi perjalanan batin yang membawa kita melihat kembali makna “hidup yang ditukar”.
Sebuah film yang layak diapresiasi karena berhasil menghadirkan tragedi bukan sebagai air mata, tapi sebagai refleksi diri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI