Mohon tunggu...
Disisi Saidi Fatah
Disisi Saidi Fatah Mohon Tunggu... Blogger

Cendekia Al Azzam - Suka mengabadikan perjalanan melalui tulisan untuk dikenang di kemudian hari | Suka Buku dan Film

Selanjutnya

Tutup

Film

Tukar Takdir: Antara Luka, Dosa, dan Kesempatan Kedua

13 Oktober 2025   07:20 Diperbarui: 13 Oktober 2025   07:20 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster film Tukar Takdir garapan Mouly Surya di XXI. (Sumber: dokpri/Cendekia)

Tidak semua film dibuat untuk sekadar menghibur. Ada film yang lahir untuk mengguncang batin penontonnya, membuat mereka berpikir ulang tentang arti hidup dan bagaimana manusia berdamai dengan takdir. Tukar Takdir, film terbaru karya Mouly Surya, adalah salah satunya.

Film ini tidak hanya menampilkan tragedi, tapi juga renungan tentang rasa bersalah, kehilangan, dan harapan yang tersisa setelah semua hancur.

Film berdurasi 1 jam 47 menit ini tayang mulai 2 Oktober 2025, dengan genre drama psikologis yang kuat. Dibintangi oleh Nicholas Saputra, Marsha Timothy, dan Adhisty Zara, film ini diproduksi oleh Starvision bersama Cinesurya dan Legacy Pictures. Di baliknya ada tangan dingin para produser Chand Parwez Servia, Riza, Rama Adi,  dan Mithu Nisar.

Dengan rating IMDb 7/10 dan secara pribadi dari aku 4/5, film ini bukan sekadar tontonan, tapi juga perjalanan spiritual yang menembus batas realitas dan perasaan manusia.

Kisah yang Menyentuh: Takdir, Duka, dan Pertukaran Nasib

Cerita Tukar Takdir berpusat pada Rawa Budiarso (Nicholas Saputra), satu-satunya penumpang yang selamat dari kecelakaan pesawat Jakarta Airways 79. Pesawat itu sempat dinyatakan hilang kontak sebelum akhirnya ditemukan dalam kondisi hancur. Rawa selamat dengan luka-luka, tapi jiwanya hancur. Ia hidup, namun tidak benar-benar merasa hidup.

Keselamatan Rawa bukan karena keajaiban semata. Sebelum keberangkatan, ia secara tak sengaja menukar tempat duduk dengan penumpang lain bernama Raldi (Teddy Syach). Raldi meninggal, sementara Rawa bertahan. Dan dari situlah rasa bersalahnya bermula.

Ia bukan hanya menjadi saksi dalam investigasi kecelakaan, tapi juga menjadi sasaran duka dari dua perempuan yang kehilangan: Dita (Marsha Timothy) istri Raldi, dan Zahra (Adhisty Zara) putri sang pilot yang turut tewas.

Dita diliputi amarah, Zahra terjebak dalam kesedihan, dan Rawa berada di tengah keduanya - sebagai simbol manusia yang selamat tapi hancur di dalam. Seiring waktu, hubungan mereka berkembang. Dari kebencian muncul pengertian, dari luka muncul kedekatan, hingga Rawa perlahan menemukan secercah alasan untuk tetap hidup.

Film ini menelusuri perjalanan batin tiga manusia yang terhubung oleh tragedi yang sama. Masing-masing mencoba menerima bahwa takdir tidak selalu bisa dijelaskan, dan hidup harus terus berjalan, meski penuh kehilangan.

Poster resmi Tukar Takdir menampilkan Nicholas Saputra, Marsha Timothy, dan Adhisty Zara di antara reruntuhan pesawat. (Sumber: @tukartakdirfilm-IG)
Poster resmi Tukar Takdir menampilkan Nicholas Saputra, Marsha Timothy, dan Adhisty Zara di antara reruntuhan pesawat. (Sumber: @tukartakdirfilm-IG)

Visual dan Emosi yang Menyatu

Mouly Surya menampilkan kisah kelam ini dengan pendekatan visual yang eksploratif dan penuh atmosfer. Sinematografi film ini begitu cermat dan memikat. Beberapa adegan seperti momen kecelakaan, drama dalam mobil, dan simulasi pesawat disajikan dengan gaya yang unik dan menegangkan.

Penonton seolah diajak masuk ke dalam kepala Rawa, melihat dunia melalui trauma dan ketakutannya. Pencahayaan redup, warna dingin, dan sudut kamera yang sempit menciptakan sensasi claustrophobic, seolah hidup itu sendiri menjadi ruang sempit yang sulit dilalui.

Kekuatan terbesar film ini terletak pada akting dan pengendalian emosi para pemeran. Nicholas Saputra tampil memukau sebagai Rawa. Ia nyaris tak banyak bicara, namun tatapan kosongnya sudah cukup menyampaikan luka dan beban yang tak tertanggung.

Marsha Timothy menghadirkan Dita sebagai sosok wanita yang tangguh tapi terluka. Setiap ucapannya seperti menyimpan bara amarah yang tertahan. Sementara Adhisty Zara menampilkan Zahra dengan kesegaran dan kedalaman emosi yang matang, jauh melampaui usianya.

Ketiganya menciptakan keseimbangan emosional yang kuat, menjadikan film Tukar Takdir bukan sekadar drama kehilangan, tapi juga kisah penyembuhan.

Makna di Balik Luka: Tentang Hidup yang Kedua

Ketika mati terasa lebih mudah daripada hidup dengan rasa bersalah, di situlah film ini berbicara paling keras. Rawa adalah cerminan manusia yang berjuang menebus dosa, bukan dengan kata-kata, tapi dengan keberanian untuk terus bertahan.

Mouly Surya menulis dan menyutradarai film ini dengan nuansa reflektif yang khas. Ia tidak menawarkan jawaban, melainkan kebimbangan tanpa ujung.

Karena dalam hidup, tidak semua luka bisa disembuhkan, dan tidak semua takdir bisa dijelaskan.

Film Tukar Takdir juga menyoroti sisi egois manusia terhadap takdir. Setiap karakter mencoba mencari alasan mengapa sesuatu terjadi di luar kendalinya: Rawa merasa bersalah karena hidup, Dita menuntut penjelasan atas kematian suami, Zahra pasrah namun tetap menyimpan luka.

Mereka berputar dalam lingkaran emosi yang sama: marah, sedih, bersalah, dan bertahan. Film ini mengajarkan satu hal sederhana namun menohok; bahwa hidup bukan soal menukar takdir, melainkan belajar menerimanya dengan utuh.

Sebagai drama eksistensial, Tukar Takdir punya nyawa yang kuat. Ia tidak hanya menggugah, tapi juga meninggalkan gema panjang setelah kredit akhir bergulir. Film ini membuat penonton bertanya: Bagaimana jika yang selamat bukan keberuntungan, melainkan ujian? Dan bagaimana jika kesempatan kedua justru datang untuk menguji seberapa besar kita mencintai hidup yang tersisa?

Film Tukar Takdir adalah karya sinematik yang matang secara visual, emosional, dan filosofis. Ia menantang penonton untuk menyelami batas antara hidup dan rasa bersalah, antara penyesalan dan penerimaan. Film ini bukan tontonan ringan, tetapi perjalanan batin yang membawa kita melihat kembali makna “hidup yang ditukar”.

Sebuah film yang layak diapresiasi karena berhasil menghadirkan tragedi bukan sebagai air mata, tapi sebagai refleksi diri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun