Mohon tunggu...
Disisi Saidi Fatah
Disisi Saidi Fatah Mohon Tunggu... Blogger

Cendekia Al Azzam - Suka mengabadikan perjalanan melalui tulisan untuk dikenang di kemudian hari | Suka Buku dan Film

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Pindah Karier di Usia 30-an: Kisah dan Pesan dari Seorang Sineas yang Berlabuh di Dunia Jurnalisme

9 Oktober 2025   12:11 Diperbarui: 9 Oktober 2025   12:11 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana di lokasi syuting ketika Papa masih aktif menjadi sutradara di ibu kota. (Sumber: Dokpri/GA.)

Bagaimana rasanya pindah karier di usia 30-an? Ada yang bilang, rasanya seperti memulai hidup dari nol. Ada juga yang justru merasa akhirnya hidupnya benar-benar dimulai. Bagi sebagian orang, usia 30-an adalah masa penuh pencarian - soal arah, makna, dan kesetiaan pada diri sendiri.

Aku sendiri belum mengalaminya. Usia belum sampai ke angka itu. Tapi, suatu malam, aku pernah mendengar kisah yang membuatku berpikir jauh ke depan. Kisah itu datang dari seseorang yang sudah kuanggap seperti ayah sendiri - Papa angkatku.

Malam itu kami duduk di teras rumah, ditemani secangkir kopi hitam dan angin yang berembus lembut dari halaman. Obrolan ringan kami tiba-tiba berubah arah ketika Papa mulai mengenang masa lalunya di ibu kota. Dari raut wajahnya, aku tahu itu bukan cerita biasa. Itu kisah tentang keberanian meninggalkan sesuatu yang ia cintai, demi sesuatu yang lebih bermakna.

Antara Cinta dan Karier: Dari Kamera ke Pena

Papa lahir dan besar di Purworejo, Jawa Tengah. Dari kecil, dunia seni sudah jadi napasnya. Ia senang seni pertunjukan, menulis, dan memerhatikan kehidupan dengan cara yang puitis. Kesenangannya itulah yang mengantarkannya menempuh pendidikan di Institut Kesenian Jakarta - tempat impian para calon seniman muda.

Papa (kemeja putih-kanan) bersama tim produksi saat proses pengambilan gambar di lokasi syuting film. (Sumber: Dokpri/GA.)
Papa (kemeja putih-kanan) bersama tim produksi saat proses pengambilan gambar di lokasi syuting film. (Sumber: Dokpri/GA.)

Di kampus itu, katanya, hari-harinya penuh dengan kerja kreatif. “Rasanya hidup banget,” begitu ucapnya. Ia membuat film pendek, film dokumenter, bahkan pernah mengarahkan iklan. Meski namanya tak sepopuler sineas besar yang wara-wiri di layar lebar, Papa pernah merasakan manisnya hidup dari karya. Ia hidup di tengah kota yang tak pernah tidur - dunia yang penuh gairah dan kebebasan.

Sampai suatu hari, sebuah pertemuan mengubah segalanya. Waktu itu masih zaman Friendster - media sosial generasi awal sebelum Facebook merevolusi cara orang berkenalan. Lewat platform sederhana itulah ia bertemu dengan seorang gadis dari Sumatera, mahasiswi biologi di Universitas Sriwijaya. Awalnya hanya obrolan ringan, tapi lama-lama menjadi dekat.

“Kadang cinta datang di saat kita tidak mencarinya,” katanya sambil tersenyum tipis malam itu.

Setelah menikah, Papa dihadapkan pada pilihan sulit. Istrinya baru diterima sebagai pegawai negeri sipil di Lampung. Sementara Papa sudah punya karier yang lumayan mapan di Jakarta. Tapi keputusan harus diambil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun