Langit Pati rasanya sedang tak biasa. Udara yang biasanya diisi deru mesin traktor dan aroma tanah basah, kini terasa lebih panas, lebih sesak. Bukan karena musim kemarau, tapi karena api amarah warganya yang tersulut. Kali ini, pemicunya bukanlah sekadar lidah yang terpeleset, melainkan sebuah kebijakan yang dianggap mencekik dan arogansi yang menantang langit.
Semua bermula ketika palu kebijakan diketuk. Pemerintah daerah secara sepihak menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dengan angka yang tak masuk akal, disebut-sebut melonjak hingga ratusan persen. Bagi masyarakat "Bumi Mina Tani" yang hidupnya bergantung pada tanah dan hasil bumi, kenaikan ini terasa seperti cambuk yang menghantam punggung di tengah kerja keras mereka. Kebijakan itu terasa seperti menara gading yang tak peduli pada fondasi di bawahnya, fondasi yang dibangun dari keringat dan doa rakyatnya.
Namun, yang mengubah kekecewaan menjadi amarah kolektif adalah respons sang bupati. Alih-alih membuka ruang dialog dan mendengar keluh kesah warganya, ia justru melontarkan tantangan. Dengan dada yang dibusungkan, ia seolah berkata, "Silakan protes! Saya siap hadapi sekalipun 500 ribu demonstran!" Sebuah kalimat yang bukan hanya menunjukkan arogansi kekuasaan, tapi juga memandang rakyatnya sebagai lawan yang perlu ditaklukkan, bukan sebagai mitra yang harus didengarkan. Sabda sang "raja kecil" ini menjadi percikan bensin yang menyambar tumpukan jerami kering kekecewaan warga.
Dan tantangan itu dijawab. Rakyat Pati tidak gentar. Mereka membuktikan bahwa solidaritas mereka jauh lebih besar dari arogansi penguasa. Berbagai elemen masyarakat yang bersatu pun mempersiapkan perlawanan. Ada satu pemandangan luar biasa yang terjadi sebelum puncak demo: warga secara swadaya dan gotong royong mengumpulkan sokongan makanan dan minuman untuk para demonstran yang akan hadir menjawab "undangan" bupati.
Namun, apa yang terjadi? Aparat Satpol PP justru mencoba membubarkan dan menyita hasil sokongan itu. Sebuah tindakan yang ironis, di mana negara seolah hendak memadamkan semangat kebersamaan warganya sendiri. Tapi, rakyat Pati melawan. Didesak oleh ratusan warga yang marah, aparat pun mundur dan hasil sokongan itu kembali ke alun-alun, menjadi simbol kemenangan kecil pertama sebelum perang besar dimulai.
Dari Dunia Maya ke Jalan Raya
Maka, ketika hari-H tiba dan jalanan Pati benar-benar dipenuhi lautan manusia untuk menjawab tantangan itu, kisaran 100 ribu warga hadir memenuhi alun-alun hingga kantor bupati dan DPRD. Api sudah tak terbendung.Â
Di era digital ini, tak ada lagi rahasia yang bisa disimpan rapat-rapat di ruang kerja ber-AC. Arogansi sang bupati dan kisah penyitaan sokongan warga menyebar lebih cepat dari angin. Media sosial menjadi pengadilan rakyat pertama. Cacian, makian, meme-meme satire, hingga utas panjang yang menganalisis betapa terputusnya hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin, semuanya tumpah ruah.
Ini bukan lagi sekadar kemarahan sesaat. Ini adalah akumulasi. Ucapan sang bupati dan kebijakan pajaknya hanyalah puncak gunung es, pemicu yang akhirnya menyatukan berbagai elemen masyarakat dalam satu suara: "Turun!"
Gelombang protes pun tak terhindarkan. Dari aktivis mahasiswa, tokoh masyarakat, hingga warga biasa, mereka turun ke jalan. Kantor bupati dan gedung DPRD menjadi panggung orasi. Spanduk-spanduk berisi tuntutan dibentangkan dengan gagah. Mereka tidak lagi takut. Rasa tersinggung dan harga diri yang terinjak telah mengalahkan rasa segan pada simbol kekuasaan.
Fenomena ini adalah cermin besar bagi kita semua. Ia menunjukkan pergeseran budaya yang signifikan. Dulu, kultur masyarakat kita, terutama di Jawa, sangat menjunjung tinggi ewuh pakewuh (rasa segan) dan hormat pada pemimpin, yang seringkali dianggap sebagai "bapak" atau "sesepuh". Namun, zaman telah berubah. Hormat kini bukan lagi sesuatu yang otomatis didapat dari jabatan, melainkan harus diraih melalui tindakan, empati, dan integritas. Ketika seorang pemimpin gagal menunjukkan itu, loyalitas rakyat pun luntur.
Panggung Politik Para Wakil Rakyat
Di tengah riuh rendah suara rakyat, panggung lain pun digelar: panggung politik di gedung DPRD. Kabar burung tentang rapat paripurna dadakan untuk memakzulkan bupati berembus kencang. Ini adalah momen krusial. Para wakil rakyat dihadapkan pada dua pilihan: berdiri bersama konstituen yang memilih mereka, atau bermain aman untuk menjaga stabilitas politik (atau mungkin kepentingan pribadi dan golongan).
Tindakan DPRD, dalam kasus seperti ini, seringkali bisa dibaca sebagai manuver politik. Mereka adalah para peselancar ulung yang mencoba menunggangi ombak kemarahan publik. Di satu sisi, ini adalah fungsi pengawasan yang semestinya mereka jalankan. Mereka menyalurkan aspirasi rakyat ke dalam mekanisme politik formal. Namun di sisi lain, kita juga tidak boleh naif. Momen seperti ini adalah kesempatan emas untuk menggeser peta kekuasaan.
Apakah mereka tulus mewakili suara rakyat? Atau ini hanya episode perebutan pengaruh antar-elite politik? Hanya waktu dan hati nurani mereka yang bisa menjawab. Namun yang pasti, tekanan dari bawah telah berhasil memaksa mesin politik untuk bergerak. Ini membuktikan bahwa people power dalam skala lokal sekalipun, memiliki kekuatan yang nyata untuk menggoyang kursi yang tadinya terasa begitu kokoh.
Refleksi untuk Kita Semua: Pelajaran dari Pati
Kisah dari Pati ini bukanlah sekadar berita lokal. Ia adalah sebuah miniatur demokrasi Indonesia yang sedang berproses. Ada beberapa pelajaran berharga yang bisa kita petik dan renungkan bersama.
Pertama, untuk para pemimpin di level manapun: Kekuasaan adalah amanah, bukan hak milik. Kursi jabatan itu panas, dan yang bisa membuatnya tetap sejuk bukanlah pendingin ruangan, melainkan telinga yang mau mendengar keluh kesah rakyat dan hati yang tulus melayani. Lidah itu tak bertulang, namun sekali ia salah berucap dan menantang, ia bisa mematahkan tiang kepercayaan yang dibangun bertahun-tahun. Di era keterbukaan informasi, setiap kata dan tindakan adalah rekam jejak digital yang tak bisa dihapus. Berhati-hatilah.
Kedua, untuk kita sebagai rakyat: Kasus ini menunjukkan bahwa suara kita memiliki kekuatan. Sikap kritis, keberanian untuk menyuarakan kebenaran, dan partisipasi aktif dalam mengawasi jalannya pemerintahan adalah nyawa dari demokrasi. Diam saat melihat ketidakadilan adalah bentuk persetujuan.
Namun, energi kritis ini juga harus diimbangi dengan kedewasaan. Jangan sampai kita terjebak dalam politik kerumunan (mob politics) yang mudah diadu domba dan hanya melampiaskan amarah tanpa solusi. Tujuannya adalah perbaikan sistem, bukan sekadar menjatuhkan satu orang untuk digantikan oleh masalah yang sama dalam sosok yang berbeda.
Ketiga, sebuah refleksi penting: Kita sedang berada di persimpangan antara tradisi paternalistik dan budaya demokrasi modern. Kita belajar untuk tidak lagi memuja jabatan, tetapi menghargai kinerja. Mengkritik pemimpin bukanlah tindakan durhaka, melainkan bentuk cinta pada tanah air agar ia dikelola dengan lebih baik.
Entah apa akhir dari drama politik di Pati ini. Apakah bupati benar-benar akan mundur, atau badai ini akan berlalu begitu saja? Apapun hasilnya, masyarakat Pati telah mengirimkan pesan yang sangat jelas ke seluruh penjuru negeri: era "raja-raja kecil" yang sabdanya tak bisa diganggu gugat telah berakhir. Kini adalah eranya rakyat yang semakin sadar akan hak dan martabatnya, rakyat yang tak akan tinggal diam ketika pemimpinnya lupa daratan. Dan itu, adalah sebuah kemenangan bagi demokrasi itu sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI