Mohon tunggu...
Disisi Saidi Fatah
Disisi Saidi Fatah Mohon Tunggu... Blogger

Cendekia Al Azzam - Penyuka warna biru yang demen kopi hitam tanpa gula | suka mengabadikan perjalanan melalui tulisan untuk dikenang di kemudian hari | Suka Buku dan Film

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketika Ruang Digital Tak Lagi Aman: Jeritan Perempuan di Balik Layar

9 Agustus 2025   18:43 Diperbarui: 9 Agustus 2025   18:43 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Luka tak terlihat di balik layar. Kerentanan perempuan di ruang digital perlu disadari. (Sumber: Pexels/Anna Shvets)

Kita mengenal internet sebagai ruang tanpa batas, janji indah tentang koneksi, informasi, dan kebebasan berekspresi. Namun, bagi jutaan perempuan, janji itu seringkali berubah menjadi neraka. Di balik layar, mereka menghadapi ancaman, hinaan, dan pelecehan yang tak terbayangkan. Ruang yang seharusnya menjadi panggung untuk berekspresi, kini terasa seperti medan ranjau yang penuh ketakutan.

Ini bukan lagi sekadar kasus per kasus, melainkan cerminan dari kegagalan kolektif kita untuk menciptakan ruang yang setara dan aman. Mengapa suara perempuan lebih sering dibungkam oleh ancaman? Mengapa mereka harus menelan rasa takut setiap kali ingin berpendapat? Artikel ini akan membawa kita menyelami lebih dalam alasan di balik kerentanan perempuan di dunia digital dan mengajak kita semua untuk bergerak bersama.

Mengapa Perempuan Lebih Rentan? Untuk memahami masalah ini, kita harus melihatnya lebih dari sekadar "fenomena online." Kerentanan perempuan di dunia digital adalah cerminan langsung dari masalah sosial yang sudah mengakar di dunia nyata. Ada beberapa faktor utama yang membuatnya begitu nyata:

  • Budaya Patriarki dan Misogini: Sayangnya, di banyak masyarakat, masih ada pandangan bahwa perempuan harus diatur, dikendalikan, dan dibungkam. Internet, dengan anonimitasnya, menjadi alat baru untuk melanggengkan pandangan-pandangan misoginis ini. Ujaran kebencian, body shaming, hingga ancaman kekerasan seksual seringkali muncul sebagai cara untuk "menempatkan perempuan pada tempatnya."
  • Objektifikasi dan Pelecehan Seksual: Ruang digital, terutama media sosial, seringkali menjadi arena di mana perempuan diobjektifikasi. Komentar-komentar yang fokus pada fisik, bukan pada substansi, sangat umum terjadi. Bentuk pelecehan ini bisa lebih parah lagi dengan adanya ancaman penyebaran foto atau video pribadi tanpa izin, yang sering dikenal dengan istilah revenge porn atau doxing.
  • Serangan yang Terpersonalisasi: Berbeda dengan laki-laki yang mungkin menerima kritik seputar opini, perempuan seringkali diserang secara personal dan intim. Serangan ini bisa menyangkut bentuk tubuh, penampilan, status pernikahan, hingga peran sebagai ibu atau istri. Serangan ini dirancang untuk menghancurkan mental dan kepercayaan diri, bukan sekadar mematahkan argumen.

Dampak Buruk yang Menghantui di Dunia Nyata

Kerentanan di ruang digital ini tidak berhenti di layar saja. Dampaknya merambat hingga ke kehidupan sehari-hari dan kesehatan mental perempuan.

  • Tekanan Mental yang Luar Biasa: Mendapat serangan bertubi-tubi secara online bisa memicu stres, kecemasan, bahkan depresi. Banyak perempuan merasa takut, tidak aman, dan kehilangan rasa percaya diri. Mereka mulai meragukan diri sendiri dan menghindari interaksi sosial, baik online maupun offline.
  • Fenomena Self-Censorship: Karena takut mendapat serangan, banyak perempuan akhirnya memilih untuk membungkam diri. Mereka enggan memposting foto, menulis opini, atau berpartisipasi dalam diskusi publik. Hal ini merugikan kita semua, karena kita kehilangan suara-suara perempuan yang seharusnya bisa memperkaya ruang digital. Kebebasan berekspresi, yang seharusnya menjadi hak setiap orang, direnggut paksa oleh para pelaku.
  • Ancaman Nyata dari Dunia Maya: Ancaman yang dimulai dari internet tidak jarang berlanjut ke dunia nyata. Pelaku bisa melacak alamat, tempat kerja, bahkan mengancam keluarga korban. Rasa takut ini membuat perempuan tidak lagi merasa aman, bahkan di rumah mereka sendiri.

Siapa yang Bertanggung Jawab? Ini Bukan Sekadar Masalah Pribadi

Seringkali, korban pelecehan online disalahkan. Mereka dianggap terlalu "sensitif," atau bahkan diminta untuk "jangan memposting hal-hal yang memancing." Padahal, masalah ini bukan salah korban. Tanggung jawab ada di pundak banyak pihak:

  • Penyedia Platform (Media Sosial): Perusahaan media sosial harus memiliki sistem moderasi yang lebih ketat, transparan, dan responsif. Mereka tidak bisa lagi membiarkan akun-akun anonim dan palsu merajalela menebarkan kebencian.
  • Pemerintah dan Penegak Hukum: Di Indonesia, kita memiliki UU ITE. Namun, pelaksanaannya masih perlu diperkuat untuk melindungi korban secara efektif dan memberikan efek jera pada pelaku. Pelapor harus merasa aman dan yakin bahwa kasusnya akan ditangani dengan serius.
  • Masyarakat Luas: Inilah peran kita semua. Jangan pernah menjadi bystander atau penonton pasif. Ketika melihat pelecehan online, kita harus berani membela korban, melaporkan pelaku, dan menolak menyebarkan konten atau ujaran kebencian. Kita harus menciptakan budaya digital yang setara dan beradab.

Apa yang Bisa Kita Lakukan? Menciptakan ruang digital yang aman memang tidak mudah, tapi bukan berarti tidak mungkin. Berikut adalah beberapa langkah konkret yang bisa kita lakukan:

  • Tingkatkan Literasi Digital: Baik perempuan maupun laki-laki, kita semua harus belajar tentang keamanan digital. Pelajari cara menggunakan pengaturan privasi, memblokir akun, dan tahu ke mana harus melaporkan kasus pelecehan.
  • Jadilah Ally (Sekutu): Bagi laki-laki, jangan diam saat melihat pelecehan. Suara Anda sangat penting untuk menghentikan perilaku tidak etis. Bela korban, berikan dukungan, dan berani menentang teman atau kerabat yang melakukan pelecehan.
  • Edukasi Sejak Dini: Kita harus mulai mendidik anak-anak tentang etika digital dan pentingnya menghormati orang lain, tanpa memandang gender, sejak dini. Ajari mereka bahwa apa yang kita katakan di internet punya konsekuensi di dunia nyata.
  • Dukung Korban: Jika ada teman atau keluarga yang menjadi korban, dengarkan mereka. Berikan dukungan emosional dan bantu mereka mencari bantuan, baik dari platform maupun pihak berwajib. Jangan pernah menyalahkan mereka.

Maka, pertanyaan besarnya bukan lagi "kenapa mereka tidak melawan?" tetapi "apa yang sudah kita lakukan untuk menciptakan ruang yang aman bagi mereka?" Tanggung jawab ini ada pada kita semua, baik laki-laki maupun perempuan. Kita harus berani menentang budaya diam dan menjadi sekutu yang aktif.

Layar di tangan kita bukan hanya jendela ke dunia, tapi juga cermin dari peradaban kita. Apakah kita akan membiarkannya menjadi ruang yang penuh ketakutan, atau kita akan bersama-sama menjadikannya ruang yang penuh hormat dan kesetaraan? Pilihan ada di tangan kita, dan inilah saatnya untuk bertindak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun