Ada satu kalimat yang masih mengendap dalam kepala saya usai mendengarkan ceramah KH. Ahmad Baha'uddin Nur Salim — atau yang lebih dikenal sebagai Gus Baha:
"Bumi yang kita pijak ini sebenarnya bukan sekadar tempat tinggal. Ia bukan cuma tanah buat bangun rumah, sawah, atau jalan tol. Tapi bumi ini adalah amanah."
Kalimat itu terdengar sederhana. Tapi justru karena kesederhanaannya, ia seperti membuka pintu baru dalam cara kita memandang dunia. Kata “amanah” membawa makna yang dalam: tanggung jawab. Artinya, kita tidak hanya menempati bumi, tapi juga diminta untuk merawatnya.
Di titik itulah Gus Baha’ menyampaikan pesan yang menggugah: menjaga bumi bukan sekadar etika sosial atau aturan manusia, melainkan bagian dari kewajiban spiritual kita.
Dalam ceramahnya yang singkat namun padat makna, Gus Baha’ menjelaskan bahwa merawat alam adalah bagian dari ibadah. Ya, ibadah — selevel dengan salat, puasa, zakat, bahkan membaca Al-Qur’an. Karena ketika seseorang merusak alam — menebang pohon sembarangan, mencemari sungai, membakar hutan — yang rusak bukan hanya lingkungan, tapi juga hubungan manusia dengan Tuhan.
"Bumi adalah amanah dari-Nya. Dan saat kita lalai, itu bukan sekadar keteledoran ekologis, tapi juga bentuk pengkhianatan atas kepercayaan yang telah Allah berikan," tegas Pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Qur'an LP3IA, Rembang, Jawa Tengah itu.
Menariknya, pesan ini disampaikan bukan dalam seremoni besar, melainkan dalam momen simbolik — saat beliau baru saja diakui oleh Kementerian Agama sebagai ahli tafsir. Tapi dengan rendah hati, beliau berkata bahwa pengakuan sejati datang dari Allah. Dunia boleh mengangkat kita, tapi hanya Tuhan yang benar-benar tahu siapa kita.
Dan di tengah pengakuan itu, yang beliau soroti bukan status atau gelar, melainkan tanggung jawab manusia terhadap bumi.
Kerusakan Alam dan Cermin Moral
Lewat ceramahnya di NU Online, Gus Baha’ mengajak kita membaca kembali Al-Qur’an secara reflektif. Banyak ayat bicara tentang bencana alam — gempa, banjir, topan, bahkan benda langit yang jatuh.