Mohon tunggu...
Disisi Saidi Fatah
Disisi Saidi Fatah Mohon Tunggu... Blogger

Cendekia Al Azzam - Suka mengabadikan perjalanan melalui tulisan untuk dikenang di kemudian hari | Suka Buku dan Film

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Hanan: Menelusuri Jejak Ayah, Memaknai Kehilangan, Menumbuhkan Harapan

14 Juli 2025   21:10 Diperbarui: 14 Juli 2025   20:45 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Kadang, kita baru sadar betapa berharganya panggilan telepon yang dulu kita abaikan, justru setelah tak ada lagi nada dering darinya.”

Tak semua cinta terdengar lembut, dan tidak semua perhatian datang dengan pelukan hangat. Kadang, ia muncul dalam bentuk dering telepon berkali-kali yang terasa mengganggu, pesan singkat yang terlalu sering, atau pertanyaan-pertanyaan sepele yang seolah tidak penting.

Tapi di balik itu, tersimpan kasih sayang yang tak pandai bicara. Film pendek "Hanan" yang ditayangkan oleh Dalwa TV bukan sekadar kisah emosional tentang seorang anak dan ayahnya, tetapi juga cermin dari relasi yang kerap kita alami dalam kehidupan nyata - relasi yang baru kita pahami setelah kehilangan.

Hanan adalah seorang anak muda yang sedang berada di persimpangan besar dalam hidupnya. Ia tengah mempersiapkan diri menghadapi wawancara penting, sebuah kesempatan yang bisa mengubah masa depannya. Namun di tengah fokusnya, Ayahnya - yang sudah tua dan sering merepotkan - terus menelepon, menanyakan hal-hal yang bagi Hanan terasa remeh. Gangguan? Barangkali. Tapi itulah bentuk cinta seorang ayah: tak selalu hadir dengan bunga, kadang justru datang dalam bentuk kekhawatiran berlebih.

Dalam banyak keluarga, kasih sayang ayah sering tersembunyi di balik sikap kaku atau ucapan datar. Berbeda dengan ibu yang lebih ekspresif, ayah cenderung mencintai dalam diam - melalui kerja keras, teguran, atau bahkan kekakuan emosional.

Hal inilah yang sering kali luput dipahami oleh anak-anak, terutama mereka yang tengah diburu oleh ambisi dan tuntutan hidup. Hanan adalah gambaran kita semua - yang kadang terlalu sibuk menata masa depan, hingga lupa siapa yang menopang masa kecil kita.

Konflik dalam film ini sederhana tapi menghujam: antara tanggung jawab keluarga dan impian pribadi. Hanan mencintai ayahnya, tapi juga merasa terganggu. Ia ingin berhasil, tapi tak ingin merasa bersalah. Dan seperti banyak dari kita, ia baru benar-benar mengerti arti kehadiran sang ayah ketika tak ada lagi panggilan masuk dari nomor yang sama.

Ketika pemakaman menjadi satu-satunya ruang untuk menangis tanpa batas, dan ketika keheningan justru menjadi suara paling lantang yang mengingatkan kita: bahwa waktu tak pernah bisa diputar ulang.

Momen kehilangan itulah yang menjadi titik balik. Dari seorang anak yang berjuang menggapai impian, Hanan berubah menjadi pribadi yang lebih dewasa, lebih bertanggung jawab, dan lebih mengerti bahwa cinta tak harus selalu nyaman.

Dalam wawancaranya di akhir film, ia mengatakan bahwa kesalahan adalah guru terbaik - dan bahwa ia ingin menebus semua waktu yang terlewat, semua perhatian yang dulu ia anggap gangguan, dengan menjadi seseorang yang ayahnya banggakan, meski dari kejauhan.

Di sini, Hanan tidak hanya menjadi kisah tentang kehilangan, tetapi juga tentang pertumbuhan. Tentang bagaimana kesuksesan bukan sekadar pencapaian pribadi, melainkan bentuk penghormatan. Tentang bagaimana manusia belajar, bukan dari pujian, tapi dari kegagalan dan penyesalan. Dan tentang bagaimana orang tua - seberapapun membingungkannya cara mereka menunjukkan cinta - tetaplah rumah tempat kita pulang, bahkan saat rumah itu sudah menjadi nisan.

Film ini juga bicara soal budaya. Dalam banyak masyarakat, khususnya yang berakar kuat pada nilai-nilai timur dan religius, sukses seorang anak adalah kebanggaan bagi keluarga. Hanan menyadari hal ini dan menjadikan pencapaiannya sebagai persembahan terakhir -  penghormatan yang tak bisa dibungkus bunga atau ditulis dalam ucapan. Ia memilih menjalani hidup bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk ayahnya yang telah tiada.

Dan mungkin itu yang membuat film ini begitu mengena. Ia tidak menggurui. Ia hanya mengajak kita untuk melihat ulang cara kita mencintai dan dicintai. Bahwa hubungan dengan orang tua bukanlah tentang kesempurnaan, tapi tentang proses saling memahami di tengah keterbatasan. Bahwa perhatian yang mengganggu hari ini, bisa jadi adalah hal yang paling kita rindukan esok.

Karena pada akhirnya, seperti yang dikatakan Hanan:

“Kesuksesan ini adalah cara saya menyembuhkan rindu yang tak bisa saya kirimkan.”

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun