"Taruh ayah di keningmu malam ini ya, Nak. Kalau beruntung, malam ini kita akan bertemu lewat mimpi." (Hal. 148)
Kalimat itu bukan sekadar penutup dari satu bab, tapi juga gerbang bagi banyak hati untuk menumpahkan rindu - rindu pada sosok ayah yang mungkin tak lagi hadir secara fisik, tapi jejaknya masih tertinggal erat di ruang-ruang kenangan.
Buku "Ayah, Ini Arahnya Ke Mana, Ya?" karya Khoirul Trian adalah sejenis pengakuan emosional yang jujur dan terbuka tentang luka, kehilangan, pencarian arah, serta segala getir-getir menjadi dewasa - apalagi tanpa ayah di sisi. Buku ini tidak melebih-lebihkan emosi, tapi justru memeluknya. Di tiap lembarnya, kita diajak berdialog dengan diri sendiri dan sesekali terasa seperti sedang menyandarkan kepala di pundak ayah, meskipun hanya dalam bayangan.
Mengangkat Isu “Fatherless” yang Tak Boleh Dianggap Remeh
Di antara banyaknya buku pengembangan diri (self improvement) yang mengajak pembaca untuk “kuat” dan “hebat”, buku ini justru mengizinkan pembaca untuk lemah, untuk menangis, dan untuk jujur bahwa kadang hidup memang berat dan membingungkan. Terlebih bagi mereka yang tumbuh dalam bayang-bayang fatherless - entah karena ayah benar-benar telah tiada atau karena peran ayah tidak pernah hadir sebagaimana mestinya.
"Aku yang sekarang sudah tidak banyak mengejar lagi, semua hanya berjalan sesuai dengan usaha terbaikku saja, selebihnya kuserahkan pada yang Kuasa. Entah ke mana perginya tubuhku dibawa realita, di sanalah aku bertahan." (Hal. 78)
Isu kehilangan figur ayah ini ternyata sangat beresonansi dengan generasi muda saat ini, terutama Gen Z yang sedang berada di fase paling pelik: bertumbuh, berjuang, dan berusaha memahami arah hidup di tengah dunia yang makin kompleks. Banyak dari mereka yang membaca buku ini bukan hanya karena ingin tahu isi ceritanya, tapi karena ingin merasa divalidasi, dimengerti, dan tidak sendirian.
Menemukan Diri Lewat Lembar-lembar Penuh Perasaan
Yang membuat buku ini istimewa bukan hanya karena tema berat yang diangkat, melainkan karena cara penyampaian yang sederhana namun sangat emosional. Pembaca seolah-olah sedang curhat langsung kepada ayahnya - dan setiap curhatan itu direspons oleh tulisan yang hangat, dalam, dan menguatkan.
Buku ini seperti ruang sunyi untuk siapa pun yang ingin bicara tanpa takut dihakimi. Ia menjadi suara bagi mereka yang selama ini memendam luka. Ia juga menjadi bahu virtual untuk bersandar ketika dunia terasa terlalu ramai dan kepala terlalu penuh.
Meski banyak bagian dalam buku ini menggambarkan rasa kehilangan dan rindu, tapi tidak semuanya tentang kesedihan. Di bagian akhir, penulis menyisipkan sebuah bab yang berisi nasihat-nasihat dari ayah untuk anaknya. Bab ini menjadi semacam pelipur lara, seolah mengingatkan bahwa meski ayah telah pergi, pesan-pesan hidupnya masih bisa menjadi kompas dalam melanjutkan perjalanan.
Bagi siapa pun yang merasa “kehilangan arah”, buku ini mungkin tidak akan memberimu peta pasti, tapi setidaknya ia bisa menjadi pelita kecil yang menemani langkahmu.