Pernah nggak sih kamu scroll media sosial sampai jempol pegal, lalu tiba-tiba sadar: "Aku ini sebenernya ngapain sih hidup?" Tenang, kamu nggak sendiri. Banyak dari kita yang hidup kayak lagi naik eskalator - bergerak terus, tapi nggak tahu mau ke lantai berapa. Di tengah dunia yang makin ramai, cepat, dan penuh distraksi ini, jadi diri sendiri rasanya justru makin sulit. Padahal, hidup yang otentik dan punya arah itu bukan cuma impian para filsuf atau motivator - tapi kebutuhan dasar manusia zaman sekarang.
Ngaji Filsafat bareng Dr. Fahruddin Faiz di NU Online kemarin membahas hal ini dengan cara yang sederhana tapi ngena banget. Tentang pentingnya kenal diri sendiri, punya tujuan hidup yang jelas, memilih lingkungan yang sehat, dan tetap jadi manusia (bukan robot konten) di era digital ini. Ngaji ini bukan hanya obrolan berat ala seminar akademik, tapi lebih kayak nongkrong bareng orang bijak yang ngerti dunia nyata, tapi nggak kehilangan arah.
Self Awareness: Kenali Diri Sebelum Dikenali Algoritma
Dr. Faiz menyampaikan, hidup tanpa tujuan itu seperti naik ojol tapi nggak tahu mau ke mana - ujung-ujungnya malah diajak muter-muter dan boncos. Tujuan hidup bukan sekadar daftar to-do di sticky note laptop, tapi kompas agar kita tahu apakah langkah hari ini mendekatkan atau malah menjauhkan kita dari makna.
Tapi... bagaimana sih caranya mengenal diri sendiri, di tengah hidup yang serba cepat dan penuh distraksi? Kadang, kita bahkan bingung sendiri: apa sebenarnya yang kita mau, kenapa kita mudah marah, atau kenapa sering merasa hampa meski semuanya terlihat baik-baik saja. Jawabannya terletak pada satu hal: kesadaran diri (self-awareness). Itu berarti kita mau jujur melihat ke dalam - memahami apa kelebihan kita, apa kelemahannya, apa yang bikin kita takut, dan apa yang sungguh-sungguh kita inginkan.
Kalau merasa susah menemukannya sendirian, nggak apa-apa - cari teman yang bisa kasih masukan jujur. Teman sejati biasanya berani bilang yang orang lain cuma bisik-bisik. Dan kalau nggak ada? Kadang kritik dari orang yang kurang suka sama kita justru bisa jadi cermin terbaik. Pahit, tapi sering lebih jujur dari pujian.
Lingkungan itu kayak sinyal Wi-Fi. Kalau jelek, bikin kita lemot mikir dan cepat panas hati. Makanya penting banget punya circle yang bukan sekadar rame, tapi sehat dan suportif. Circle yang bisa bilang, "Bro, kamu salah," tapi masih tetap mau traktir kopi.
Jangan salah, circle yang sehat bisa bikin kita tetap jadi diri sendiri meski dunia sibuk ngasih template jadi orang lain. Di sinilah otentisitas lahir: saat kita tetap berdiri teguh sebagai diri sendiri, meski sedang dikelilingi hastag dan tren viral.
Menjadi Manusia Digital Tanpa Jadi Robot
Era digital itu seperti arus sungai deras. Kita bisa ikut mengalir, tapi jangan sampai hanyut. Kata Kanjeng Sunan Kalijaga: anglaras ilining banyu, angeli ananging ora keno - mengikuti arus, tapi tidak larut. ChatGPT, AI, dan semua teknologi itu alat, bukan identitas. Jangan sampai hidup kita ditulis oleh algoritma dan disetir FYP.