Tak pernah kusangka, benih impian itu tumbuh dari hal sederhana: menonton siaran langsung musim haji di televisi. Saat itu, aku masih remaja - masih mencari jati diri, masih belajar memahami makna ibadah. Namun ketika melihat lautan manusia berpakaian putih ihram mengelilingi Ka'bah, melantunkan talbiyah dengan penuh khusyuk, ada sesuatu yang bergetar di dalam dada. Entah apa namanya. Rasa itu tak bisa kulukiskan sepenuhnya - antara haru, kagum, dan rindu yang asing tapi kuat. Sejak itu, aku tahu: suatu hari aku ingin berada di sana.
Rasa itu tak lantas pudar. Ia bahkan tumbuh dan menguat ketika aku tanpa sengaja menemukan sebuah buku yang mengisahkan pengalaman para jemaah haji dari berbagai latar belakang. Ada yang rela menabung bertahun-tahun dengan penghasilan pas-pasan, ada yang berjualan makanan keliling, ada pula yang mendapatkan rezeki haji secara tiba-tiba dan tak terduga. Yang menyentuh bukan hanya perjalanan mereka secara fisik, tapi bagaimana mereka berjuang secara batin: menata niat, membersihkan hati, hingga melepaskan segalanya demi memenuhi panggilan-Nya. Kisah-kisah itu membekas. Mereka membuatku percaya, bahwa setiap orang punya jalannya masing-masing menuju Baitullah.
Beberapa tahun lalu, aku kembali dihadapkan pada momen yang tak terlupakan. Pagi itu, aku sedang dalam perjalanan pulang setelah mengantar adikku bekerja. Jalanan masih sepi, dan kami melaju cukup kencang. Hingga tiba-tiba, polisi menghentikan kendaraan. Ada kemacetan yang tak biasa. Kupikir mungkin ada kecelakaan. Tapi setelah beberapa menit menunggu, kulihat deretan bus besar mulai bermunculan, beriringan dan perlahan memasuki kawasan bandara Raden Intan II Lampung. Di setiap bus terpasang spanduk bertuliskan, "Rombongan Haji Lampung, Kloter..." Hatiku sontak terguncang. Aku terdiam. Mataku membasah. Rasanya seperti melihat saudara-saudara seiman berpamitan menuju rumah Allah. Mereka tersenyum, melambaikan tangan. Ada raut bahagia di wajah mereka, dan itu menular ke dalam jiwaku.
Tanpa sadar, air mata mengalir. Aku hanya bisa memandang dalam diam, sementara doa muncul dari kedalaman hati, "Ya Allah... kapan aku bisa seperti mereka? Kapan aku Engkau undang ke rumah suci-Mu?" Sejak saat itu, doa untuk bisa berhaji selalu hadir dalam sujud-sujudku. Bukan hanya karena kewajiban, tapi karena rindu. Rindu yang terus kupupuk.
Tahun lalu, Allah kembali menunjukkan kasih sayang-Nya lewat cara yang tak terduga. Orang tua asuhku semasa sekolah menengah atas (SMA) - Papi dan Biatu - akan kembali berangkat haji untuk kedua kalinya. Pertama kali mereka berangkat, kalau tidak salah, di tahun 2005. Saat kami berjumpa di hari raya Idul Fitri, aku sempat berbincang langsung dengan Papi. Aku sampaikan betapa bahagianya aku mendengar kabar itu. Aku juga titip doa. Tidak banyak, hanya permohonan sederhana: agar aku dan keluargaku juga dimampukan Allah untuk berangkat haji suatu saat nanti.
Papi dan Biatu berangkat. Tapi komunikasi kami tetap terjalin. Setiap ada kesempatan, aku mengirim pesan doa dan salam. Dalam hatiku, aku terus berharap agar beliau berdua mengingat namaku dalam doa mereka di tanah haram. Dan yang membuatku terkejut sekaligus sangat terharu, suatu pagi, aku dihubungi melalui video call. Papi menelepon langsung dari hadapan Ka'bah.
"Silakan, Nak... doakan langsung di sini," katanya.
Aku gemetar. Suara talbiyah terdengar di latar. Aku bisa melihat Ka'bah dengan mata kepalaku sendiri, meskipun hanya lewat layar. Tapi itu cukup membuat hatiku luluh. Saat itu juga, aku memejamkan mata, melafazkan doa-doa dengan suara pelan tapi penuh harap. Rasanya seperti Allah memberiku sedikit cuplikan dari impian yang telah lama kusimpan. Hadiah kecil dari langit yang menyentuh begitu dalam.
Hari itu, aku kembali mengulang doa yang selama ini tak pernah kutinggalkan: agar aku dan orang-orang yang kusayangi diberi kemampuan dan kesempatan oleh Allah untuk menginjakkan kaki ke Tanah Suci, menunaikan ibadah haji, dan menuntaskan rindu yang kian menebal dalam jiwa.
Haji bukan hanya ibadah fisik, tapi juga puncak perjalanan spiritual. Ia adalah panggilan. Dan bila rasa rindu itu telah tumbuh dalam hatimu, yakinlah bahwa Allah sedang membisikkan namamu agar suatu hari kamu datang ke rumah-Nya.