Tak terasa sudah memasuki hari keenam aku kembali mengunjungi rumah kedua. Tanah yang aku pijak selama empat tahun lamanya, menyusuri seluk-beluk sudut desa. Bertempur dengan buku, begitupun nafsu tak kalah kuatnya mencoba meruntuhkan tembok perjuangan. Sudah hampir genap delapan tahun meninggalkan desa ini, menutup rapat lembaran buku perjalanan yang entah kapan akan kembali dibuka untuk diukir cerita baru. Atau mungkin tidak akan pernah lagi ada kisah lanjutan, sebab telah usai terkikis cinta dan masa. Tapi entahlah, sebab tidak ada yang tahu rencana Tuhan macam apa.
Sejak hari ketiga kedatangan, tepatnya usai berziarah ke makam - berkirim doa, bermesra, menjamu rindu di hadapan pusaranya. Tiba-tiba ada rasa menyelinap, mengajakku pergi ke suatu tempat sederhana yang menyimpan ribuan kenangan dan momen dengan warna beragam. Siang ini ku putuskan untuk mengunjungi tempat itu, melepas rindu sembari berteduh melepas penat dari kesepian di tengah keramaian.Â
Rasanya agak aneh, raga berada di tengah keramaian - kerumunan orang-orang yang bahkan dekat dan kenal pada kita. Namun, jiwa melayang-layang entah ke mana, mencari sesuatu yang tidak juga ia dapati. Selama waktu kembali - berkunjung, baik itu dalam hitungan jam atau sehari-dua hari, tak pernah ada rasa aneh semacam ini.Â
Tempat itu tak jauh dari rumah, perlu waktu 5-7 menit dengan menunggangi kuda besi. Sebuah kedai bakso yang sederhana, dengan bangunan seluas tiga kali lima meter. Ruangan yang memanfaatkan teras rumah dengan sekat dinding bambu berwarna cokelat. Bangunan serta suasana sekitar masih sama seperti 8 tahun yang lalu, mungkin ada sedikit perubahan atau tambahan yang tidak aku tahu detailnya, yang jelas itu pasti ada.Â
Di kedai ini, ada banyak kisah terukir. Sudutnya menjadi saksi kenangan itu dipahat dalam sejarah perjalanan, bahwa tidak akan pernah lagi kisah dibuat dengan orang yang sama maupun dengan kisah yang sama.
Memasuki ruangan, mataku tak henti memandangi sekitar. Letak meja dan kursi makan yang masih sama, hanya ada dua meja persegi panjang yang di letakkan menyatu di teras rumah, beserta kursi yang saling berhadap-hadapan. Pun demikian ruang tamu masih dijadikan tempat lesehan bagi pengunjung yang tidak suka duduk di kursi.
Kedai itu milik Mang Ikin, ya begitulah orang-orang mengenalnya. Terlepas itu nama asli atau bukan, nama itulah yang orang semua tahu, bahkan mungkin sudah menjadi label hak paten bagi kedainya. Karena memang tidak ada lagi kedai bakso Mang Ikin selain ini.
Seorang ibu keluar dari ruang tamu usai aku ucap salam dua kali. Aku memesan bakso satu porsi, makanan khas kesukaan Papa; bakso tanpa mie, dengan kuah yang tidak seberapa banyak. Tapi yang pasti pakai gaji, karena biasanya stok gaji selalu ada di sini. Tidak lupa sambal cabai tiga sendok serta kecap lima tetes. Inilah racikan bakso kesukaan Papa yang aku pesan siang ini.
Nggak sampai tujuh menit semua ludes, dilahap dengan semangat. Selain rasanya enak, kondisi lapar pun menjadi daya tambah. Sengaja tadi saat makan siang tidak mengambil banyak, hanya setengah dari porsi biasa. Selain menghargai para tetamu dan teman-teman yang ada di rumah Papi, Â ngebakso sekaligus nostalgia ini memang sudah dijadwalkan sejak hari ketiga kedatangan. Jauh sebelum keberangkatan ke Bumi Ramik Ragom (Bumi yang Beragam, sebutan bagi Kabupaten Way Kanan, Lampung) beberapa agenda sudah di tata, salah satunya mengunjungi Papa ke tempat peristirahatan terakhir sebagai penghormatan dan berkirim doa secara langsung di hadapan pusaranya.
Sekujur tubuh pun basah oleh keringat, selain kenikmatan dari cita rasa bakso, juga kenangan yang tak bisa dilupakan menjadi bumbu manis yang rasanya sayang untuk dibuang, apalagi hal ini tidak mungkin bisa terulang. Cuaca panas siang ini juga menjadi peran pendukung yang tidak bisa dilupakan perannya. Memang perihal bakso, Mang Ikin ini juaranya. Lezat, gurih, nikmat, ya walaupun masih banyak bakso-bakso yang lain kita nikmati, tapi bakso Mang Ikin menjadi tempat untuk kembali setelah perjalanan jauh.Â