Mohon tunggu...
Muhamad Karim
Muhamad Karim Mohon Tunggu... Dosen - Saya seorang Akademisi

Bidang Keahlian saya Kelautan dan perikanan, ekologi, ekonomi politik sumber daya alam.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Membenahi Pergaraman Nasional

9 Oktober 2019   09:49 Diperbarui: 9 Oktober 2019   10:11 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

MEMBENAHI PERGARAMAN NASIONAL

Oleh: Muhamad Karim

Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim/

Dosen Universitas Trilogi Jakarta

Pernyataan Menteri Koordinator Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan yang menjamin Indonesia tak bakal impor garam tahun 2021, menggembirakan.  

Menurutnya saat ini sedang dikembangkan lahan garam seluas 3.720 hektare di NTT yang akan berproduksi tahun 2021. Urusan sengketa lahan yang jadi penghambat selama ini  sudah beres. Diperkirakan lahan tersebut bakal memproduksi 800 ribu ton garam industri dengan kualitas tinggi (high quality) setiap tahunnya (Detik.com 18.07/2019).  

Apakah program ini termasuk lahan garam millik rakyat?  Hal ini penting untuk dipertimbangkan agar program swasembada garam berbasis kerakyatan jadi prioritas.

Impor Buat Apa?

Tahun 2019 ini produksi garam nasional mengalami surplus 1,6  juta  ton.  Angka ini bersumber dari (i) produksi garam tahun 2018 sebesar 2,7 juta ton yang bersumber dari sentra produksi garam rakyat 2,35 juta ton, dan 367.260 ton berasal dari produksi PT Garam; (ii) realisasi impor tahun 2018 sebesar 3,2 juta ton; (iii) Total garam yang tersedia sepanjang 2018 sebesar  5,9 juta ton. 

Sementara, kebutuhan nasional tahun 2018 sebesar 4,3 juta ton, sehingga ada surplus 1,6 juta ton tahun 2019. Jika pemerintah berniat mengimpor  lagi 2,7 juta ton tahun 2019, berarti total garam yang tersedia menjadi 4,3 juta ton ditambah produksi nasional sebesar 2,32 juta ton menjadi 6,62 juta ton. Lantas buat apa impor 2,7 juta ton itu? 

Bukankah pemerintah mestinya menurunkan kebutuhan impor garam? Jika kebutuhan 2019 sebesar 4,19 juta ton 2019 berarti tidak perlu impor. Pasalnya nilai suplus 2018 ditambah produksi 2019 mencapai 4,3 juta ton. Artinya masih surplus 0,21 juta ton.  

Ironisnya, lagi pemerintah hendak menaikan kuota impor garam dari 2,7 ton menjadi 3,7 juta ton. Melonjaknya kuota impor garam ini menjatuhkan harga garam di tingkat petani anjlok.  

Petani garam kembali menelan kerugian.  Memang tahun 2015, produksi garam nasional telah menyentuh angka 3 juta ton. Akan tetapi faktor alam, berupa musim hujan yang panjang dan curahnya tinggi, disertai terjadi La Nina. 

Masalah berbarengan ini jadi biang kerok anjloknya produksi garam  tahun 2016. Imbasnya, produksi garam nasional hanya 118.055 ton (8,10 %) dari dibandingkan produksi tahun 2015 sebesar 2,9 juta ton (KKP, 2017). 

Menyikapi hal itu pemerintah memutuskan impor sebanyak 75.000 ton. Impor dilakukan lewat Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang menugaskan PT Garam untuk jenis garam konsumsi (Media Indonesia, 28/07/2017). Begitulah kondisi tahun 2017.

Pertanyaannya, mengapa sengkarut garam tak pernah tuntas meski produksi nasional surplus?  Kerapkali keluhan industri, membeli garam produksi rakyat, kualitasnya rendah karena tak memenuhi standar yang dibutuhkan. Berbeda dengan kualitas garam impor. 

Apalagi yang diproduksi lewat tambang garam, bukan dari air laut. Kualitasnya dijamin terstandarisasi dan sudah mengalami proses pengolahan sebelum dipasarkan. Hal inilah yang membuat usaha garam nasional bak benang kusut dan setiap tahun masalahnya terus berulang.

Berbeda dengan produksi garam rakyat kita. Garamnya masih bercampur tanah atau lumpur sehingga konsumen enggan membelinya. Imbasnya, petambak garam gigit jari di tengah serbuan garam impor.  

Mereka tak menikmati keuntungan karena dari hasil produksi malah mengalami kerugian. Problemnya, amat sederhana. Teknologi pergaraman kita masih konvensional. Garam yang berkualitas standar mestinya dipanen di atas meja garam. Petmbak garam kita belum menjalankan mekanisme itu dalam produksi garam. 

Akibatnya, mereka tetap saja memanen meja garamnya yang masih bercampur tanah atau lumpur. Ketika hasil produksi dijual ke pasar, harganya anjlok karena tak mampu bersaing dengan garam impor yang berkualitas standar. Situasi ini dimanfaatkan importir garam dengan dalih kebutuhan garam berkualitas pasokannya kurang untuk kebutuhan industri. 

Dasarnya, Peraturan Pemerintah (PP) No 9/2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Pergaraman sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri.  Ketentuan ini mengalihkan wewenang rekomendasi impor garam dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) kepada Kementerian Perindustrian (Kemenperin). 

Situasi ini menyebabkan harga garam produksi petambak bervariasi. Mulai dari harga kualitas unggul (KW I) Rp 600/kg KW II  Rp 500/kg hingga KW III Rp 400/kg.  Mungkinkah petambak garam bakal melonjak kesejahteraan jika setiap tahun menghadapi problem struktural semacam ini? Mungkinkah dibalik asinnya bisnis garam ada mafia yang bermain demi meraup keuntungan?  

Padahal pemerintah sudah memberikan jaminan perlindungan lewat UU No 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam

 

Kebijakan

Untuk menyelesaikan problem garam setiap tahunnya tidak bisa secara intan lewat impor lagi. Pemerintah mesti menata ulang tatakelola dan memutus persekongkolan bisnis garam yang melibatkan berbagai aktor yang mengorbankan petambak garam. 

Kebijakannya ditempuh, pertama, menyususn sistem informasi pemetaan wilayah produksi, prakiraan iklim dan anomalinya, kapasita produksi dan produktivitas garam, akses permodalan dan teknologi yang digunakan dalam proses penggaraman. 

Pemetaan ini bermanfaat mendukung pemerintah mendapatkan informasi lengkap sehingga mempermudah  pengambilan kebijakan dan keputusan yang tepat dan strategis.

Kedua, menyediakan akses untuk penerapan inovasi teknologi baru semisal penyaringan dengan filter ulin, teknologi geomembram, dan teknologi prisma yang mampu mendongkrak produktivitas garam per hektar pertahunnya tanpa bergantung kondisi alam. Imbasnya produksi garam bisa surplus dan berkelanjutan. 

Prosesnya dilakukan lewat introduksi dan difusi teknologi dibarengi proses pendidikan maupun pelatihan bagi petambak garam supaya meningkat kapasitas dan keterampilannya.

Ketiga, pemerintah mesti menata ulang tatakelola dan governability kelembagaan pemerintah  yang mengurusi soal garam, aturan bisnisnya dan keterlibatan para pihak dalam pergaraman Indonesia. Pasalnya, bisnis garam ini menyangkut kepentingan rakyat banyak terutama produsennya (petambak garam). 

Keterlibatan lembaga komisi pengawas persaingan usaha (KPPU) untuk mengawasi bisnisnya dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyelediki potensi suap dan korupsi dalam pergaraman jadi keniscayaan. Supaya problem struktural yang kerap menderanya setiap tahun dapat diselesaikan.

Keempat, mengembangkan dan menerapkan sistem tataniaga garam berbasis digital. Tujuannya memudahkan untuk mengecek harga, produksi, stok tahun sebelumnya, alur distribusi, impor hingga neraca garam. 

Pasalnya, setiap tahun KKP dan Kemenperin  kerap memiliki perbedaan angka soal produksi dan kebutuhan impor hingga memicu konflik kelembagaan. Imbasnya, mafia garam tak bisa lagi mempermainkan harga dan jumlah pasokannya sehingga merugikan petambak garam.

Kelima, mengembangkan share teknologi pergaraman dan akses pasar antara PT Garam (BUMN) maupun swasta dengan petambak garam yang bergabung lewat Koperasi berbasis digital. Lahan milik petambak garam yang berkoperasi dapat dinilai dengan saham dari BUMN/swasta yang bermitra dengan mereka. 

Imbasnya, kesejahteraan dan masa depan petambak garam terjamin termasuk meningkatkan teknologi pengaramannya. Mereka selain mendapatkan sisa hasil usaha dari Koperasi, juga mendapatkan tambahan deviden dari perusahaan mitra yang dikelola Koperasi. 

Imbasnya, kesejahteraan petani garam otomatis bakal melonjak. Membenahi pergaraman nasional lewat kebijakan-kebijakan di atas jadi keniscayaan untuk mewujudkan swasembada garam berbasis kerakyatan di era digital.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun