Bermimpi di Negeri Palak: Festa, Farina, dan Forca
Pendahuluan: Negeri Palak dan Tiga Wajah Kekuasaan
Pada April 2004 saya menulis sebuah buku berjudul "Bermimpi di Negeri Palak: Festa, Farina, dan Forca." Tulisan ini merupakan ringkasan dari gagasan dalam buku tersebut, yang saya rasa masih relevan dengan perkembangan Indonesia saat ini. Â Sebelum buku itu terbit, seorang wartawan senior Media Indonesia pernah datang ke rumah saya untuk berdiskusi tentang kondisi ekonomi dan politik kala itu. Saya sempat menyampaikan kepadanya bahwa suatu saat Prabowo Subianto akan menjadi Presiden Indonesia. Saya bahkan menulis surat untuk disampaikan kepada beliau, serta melalui seorang anak menteri Orde Baru, meskipun saya tidak tahu apakah surat itu sampai atau tidak. Â Beberapa waktu lalu saya kembali mengunjungi wartawan senior tersebut yang sedang sakit, dan ia masih mengingat peristiwa itu dengan baik.
Negeri Palak adalah negeri yang penuh pungutan, beban, dan ketidakadilan. Negeri yang seolah hanya tahu memalak, mengambil tanpa memberi, menekan tanpa peduli. Karena itu saya menyebutnya "Negeri Palak." Dalam negeri ini, rakyat hidup di bawah tiga simbol klasik yang diwariskan dari bahasa Latin: Festa, Farina, dan Forca.
Festa berarti pesta atau perayaan, melambangkan hiburan dan kemeriahan yang sengaja diciptakan penguasa agar rakyat lupa pada derita. Farina berarti tepung, makanan pokok yang menjadi simbol kebutuhan dasar untuk bertahan hidup. Forca berarti tiang gantungan atau salib, lambang hukuman, represi, dan penindasan. Â Tiga simbol ini sering kali menjadi wajah negeri yang tidak adil: pesta di atas penderitaan, perjuangan sekadar untuk makan, dan ancaman hukuman bagi siapa saja yang berani bersuara.
Festa: Pesta di Atas Luka
Tacitus, sejarawan Romawi abad pertama, menulis tentang dekadensi para penguasa dan rakyat yang dibuai hiburan. Namun ungkapan paling terkenal datang dari satiris Romawi, Juvenal, yang menyebut strategi kekuasaan sebagai panem et circenses---"roti dan sirkus." Dengan pesta megah, pertunjukan gladiator, dan hiburan massal, rakyat dibuat lupa pada luka penjajahan dan ketidakadilan.
Yesus hidup dalam dunia yang terjebak dalam logika itu. Orang Yahudi, yang tertindas di bawah kekuasaan Romawi, sering mencari hiburan sesaat sebagai pelarian dari penderitaan. Namun Yesus tidak menghadirkan "sirkus," melainkan mukjizat yang menyentuh kebutuhan terdalam manusia. Ia memberi makan lima ribu orang dengan roti dan ikan (Markus 6:30--44), bukan hanya untuk mengenyangkan, tetapi sebagai tanda hadirnya Kerajaan Allah yang melampaui pesta fana Romawi.
Di Negeri Palak, Festa adalah wajah kebahagiaan yang semu. Lampu pesta gemerlap, musik bergemuruh, acara besar ditayangkan di layar kaca, seakan rakyat sedang bersukacita. Padahal di balik pesta itu banyak anak menangis kelaparan, orang tua kesulitan membayar biaya sekolah, dan petani merugi karena harga panen ditekan. Festa di sini bukan tanda syukur, melainkan alat pelupa. Sebuah strategi: biarkan rakyat menari, agar mereka lupa menangis.
Farina: Tepung sebagai Nafas Kehidupan
Di tengah kelaparan dan pajak berat, tepung atau roti adalah simbol kehidupan. Josephus, sejarawan Yahudi, mencatat bahwa penderitaan bangsanya dalam Perang Yahudi (66--70 M) semakin parah karena kelangkaan pangan. Roma tahu: siapa yang menguasai roti, menguasai hidup rakyat. Yesus menghadapi kenyataan ini dengan cara berbeda. Ia berkata, "Akulah Roti Hidup" (Yohanes 6:35). Pesan-Nya jelas: kehidupan sejati tidak berasal dari gandum yang diperjualbelikan di pasar Romawi, melainkan dari kasih Allah yang memberi makna dan arah hidup. Jika Roma menggunakan pangan sebagai alat kontrol, Yesus menjadikannya simbol kebebasan batin dan pemulihan martabat manusia.
Di Negeri Palak, farina justru menjadi beban. Harga pangan dipermainkan, beras dan tepung dijadikan komoditas politik. Sementara rakyat hanya ingin makan layak, mereka dipaksa bertahan dalam sistem penuh pungutan. Bagi orang kecil, mimpi paling sederhana hanyalah ada nasi di meja dan roti di piring. Ironisnya, kebutuhan dasar inilah yang paling sering dijadikan permainan para penguasa. Farina menjadi rebutan, rakyat menjadi korban.
Forca: Tiang Gantungan bagi yang Melawan
Tidak ada simbol kekuasaan Romawi yang lebih mengerikan daripada forca---tiang gantungan atau salib. Salib bukan hanya alat eksekusi, tetapi juga panggung teror: pemberontak disalib di pinggir jalan agar semua orang tahu konsekuensi melawan Roma.
Yesus pun akhirnya berhadapan dengan forca itu. Salib yang dimaksudkan sebagai kutukan berubah menjadi simbol kasih dan pengampunan. Dengan menerima salib, Yesus membalik logika kuasa: yang hina justru menjadi jalan kemuliaan. Roma hendak menaklukkan, tetapi salib Kristus justru menjadi sumber kebangkitan iman yang tak terbendung.
Di Negeri Palak, forca hadir dengan rupa berbeda. Ada rakyat yang dikriminalisasi karena bersuara, mahasiswa diintimidasi karena kritis, jurnalis ditekan karena membongkar kebusukan. Forca tidak selalu berupa tiang gantungan, melainkan juga hukum yang dipelintir, ancaman yang menakutkan, atau tekanan ekonomi yang melumpuhkan.
Tacitus, Josephus, dan Wajah Romawi dalam Negeri Palak
Untuk memahami Negeri Palak, kita perlu melihat catatan dua sejarawan besar: Tacitus dan Josephus. Tacitus, senator Romawi abad pertama yang kritis terhadap kekuasaan, menulis bahwa stabilitas tidak dijaga dengan pedang semata, tetapi juga lewat pesta dan hiburan. Rakyat yang kenyang roti dan terhibur gladiator tidak lagi berpikir kritis. Inilah wajah Festa---hiburan yang mematikan kesadaran.
Josephus, sejarawan Yahudi, mengalami langsung kekejaman Roma. Ia menyaksikan bagaimana roti (farina) dijadikan alat kontrol. Dalam pengepungan Yerusalem (66--70 M), pangan dipakai sebagai senjata politik: siapa yang menguasai gandum, ia menguasai hidup. Josephus juga menulis tentang hukuman salib (forca) yang dipakai Roma untuk mempermalukan bangsa yang dianggap melawan. Dengan kata lain, Negeri Palak adalah dunia yang diatur oleh bread and circuses (roti dan pesta), serta bayang-bayang hukuman mati. Ia bukan hanya sistem politik, tetapi juga mentalitas penindasan.
Bermimpi di Negeri Palak
Di tengah Festa yang palsu, Farina yang mahal, dan Forca yang menakutkan, rakyat tetap bermimpi. Mereka merindukan negeri yang adil, di mana pesta adalah ungkapan syukur sejati, bukan pelarian. Negeri di mana beras dan tepung cukup tersedia untuk semua, dan tiang gantungan tidak lagi menakutkan karena hukum ditegakkan dengan adil.
Yesus mengajarkan kepada bangsa Yahudi yang hidup di bawah penjajahan Romawi bahwa Kerajaan Allah bukan pesta gemerlap, bukan pula sekadar roti yang cepat habis, dan bukan tiang gantungan yang menakutkan. Kerajaan Allah adalah harapan baru---kasih lebih kuat daripada kuasa, hidup lebih berharga daripada pesta semu, dan salib bukan akhir, melainkan pintu menuju kebangkitan. Yesus bermimpi bersama rakyat tertindas, dan mimpi itu tidak mati di tiang gantungan. Justru dari forca lahir kehidupan baru.
Gerakan Cinta Kasih Menurut Yesus
Di tengah Negeri Palak, Yesus menempuh jalan berbeda: jalan cinta kasih. Ia tidak melawan Festa dengan pesta tandingan, tidak melawan Farina dengan monopoli baru, dan tidak melawan Forca dengan pedang. Ia menghadirkan kasih yang membalik logika dunia:
- Kasih melawan pesta palsu dengan solidaritas, melalui perjamuan kasih.
- Kasih melawan roti sebagai alat kuasa dengan berbagi roti kepada lima ribu orang.
- Kasih melawan tiang ketakutan dengan keberanian memberi hidup, dengan mengorbankan diri di kayu salib.
Josephus menulis tentang kelompok Zelot yang melawan dengan senjata. Tacitus menulis tentang elite yang melawan dengan politik. Tetapi Yesus menawarkan jalan kasih---jalan yang tampak lemah, namun justru bertahan melampaui Romawi itu sendiri. Sejarah membuktikan: Kerajaan Romawi runtuh, tetapi gerakan kasih yang dibawa Yesus tetap hidup hingga kini.
Tertulianus, bapa Gereja abad ke-2, menulis tentang orang Kristen: "Lihatlah, betapa mereka saling mengasihi!" Bagi dunia Romawi, itu terdengar sebagai ejekan, tetapi justru menjadi kesaksian. Di tengah pesta, roti, dan salib, orang Kristen bertahan karena kasih---saling berbagi, menopang, dan menguatkan. Negeri Palak tidak akan hilang dalam semalam. Tetapi setiap kali kita memilih untuk mengasihi---membagi roti, menghadirkan sukacita, melawan ketakutan dengan keberanian---kita sedang bergerak dari Negeri Palak menuju Negeri Kasih. Itulah mimpi sejati. Itulah panggilan kita.
Penutup: Mimpi yang Tak Boleh Padam
"Bermimpi di Negeri Palak" bukanlah mimpi kosong. Ia adalah protes sekaligus doa. Festa, Farina, dan Forca memang nyata---pesta yang semu, pangan yang mahal, hukuman yang menakutkan. Tetapi di atas semua itu, ada mimpi tentang kebebasan dan keadilan. Â Yesus menunjukkan bahwa mimpi itu layak diperjuangkan. Ia menolak pesta palsu di istana Herodes (Lukas 13:32), Ia memberi roti kepada yang lapar (Markus 6:41), dan Ia rela naik ke salib---forca---agar manusia tahu bahwa kasih tidak bisa dipatahkan.
Tugas kita hari ini adalah melanjutkan mimpi itu. Jangan biarkan pesta palsu membius kita. Jangan biarkan roti kehidupan hanya dikuasai segelintir orang. Jangan takut pada forca, karena salib telah dikalahkan oleh kebangkitan.
Di Negeri Palak, mimpi boleh tampak rapuh. Tetapi sejarah iman mengajarkan: mimpi rakyat kecil bisa lebih kuat daripada seluruh pesta penguasa, lebih penting daripada pangan yang dipolitisasi, dan lebih abadi daripada tiang gantungan. Pada akhirnya, mimpi yang lahir dari kasih dan kebenaran tidak bisa dipalak. Ia akan hidup selamanya.
Coach Pramudianto
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI