Fenomena kemajuan teknologi informasi ini membawa para pengguna memasuki era baru yang disebut digital age. Permasalahan hukum yang dihadapi pun semakin kompleks karena dunia maya (cyberspace) sangat luas, tidak dibatasi teritori negara, dan dapat diakses kapan saja.Â
Saat perkuliahan daring, Dr. Maslihati Nur Hidayati, S.H., M.H, dari Prodi Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, menjelaskan bahwa "Jenis kejahatan siber (cybercrime) diantaranya kejahatan dengan motif intelektual, yang tidak menimbulkan kerugian dan dilakukan hanya untuk kepuasan pribadi. Selain itu ada juga cybercrime dengan motif politik, ekonomi atau kriminal juga berpotensi menimbulkan kerugian, bahkan perang informasi, termasuk pelanggaran akses, pencurian data, dan penyebaran informasi untuk tujuan kejahatan".
Teknologi ini bukan hanya memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan dan peradaban manusia, tapi juga bisa menjadi sarana perbuatan melawan hukum. Â Sehingga untuk menjamin percepatan proses perkembangan telematika, agar perubahan yang terjadi dapat dikendalikan secara teratur, muncul kebutuhan yang makin meningkat untuk membuat aturan, yang juga tumbuh cepat sekali di semua sektor dan lini kehidupan bermasyarakat.
Persoalan pemidanaan timbul karena di hadapan kita terdapat perbuatan yang berdimensi baru di dunia digital, sehingga banyak muncul pertanyaan adakah hukumnya untuk perbuatan tersebut?
Pakar ilmu hukum pidana, Prof. Agus Surono menjelaskan bahwa salah satu kebijakan hukum telematika adalah dengan dibuatnya UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang merupakan undang-undang pertama di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai produk legislasi yang sangat dibutuhkan dan telah menjadi pionir yang meletakkan dasar pengaturan di bidang pemanfaatan Teknologi Informasi.
Namun, pemerintah dalam membentuk UU ITE ini masih menggunakan pendekatan politis-pragmatis, bukan pendekatan kebijakan publik yang melibatkan lebih banyak kalangan, sehingga UU ITE belum mengakomodasi kebutuhan keamanan masyarakat di dunia siber. UU ITE tidak menyebutkan tentang kelalaian pembuat situs web sehingga hacker bisa menerobos dengan leluasa, tidak ada ketentuan apakah kegiatan turut serta dalam kejahatan hacking juga dapat dipidana atau tidak.
Kurangnya kemampuan pihak kepolisian selaku penegak hukum dalam penanganan hacking menjadi sorotan berbagai pihak terutama para korban kejahatan cracker. Kompetensi yang kurang memadai melahirkan paradigma teori, bahwa tindakan yang dilakukan hanya proses awal dan setelahnya tidak pernah ada penangkapan.
Pemberlakuan UU ITE belum dibarengi dengan ketentuan yang mengatur tentang hukum formil. Sehingga perangkat hukum di Indonesia belum memadai untuk menjerat pelaku cybercrime, khususnya kejahatan hacking.