Mohon tunggu...
Clement Darielle Tjhang
Clement Darielle Tjhang Mohon Tunggu... Pelajar

Saya adalah seorang pelajar yang gemar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Melawan Fobia, Menuntut Etika, dan Menegakkan Hukum - Krisis Moral dan Tata Kelola

20 September 2025   12:03 Diperbarui: 22 September 2025   15:55 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Krisis bangsa berupa kegagalan komunikasi antara pengetahuan, tanggung jawab publik, dan akuntabilitas yang melahirkan ketakutan semu, hukum yang rapuh, serta etika yang kehilangan makna.

Permasalahan bangsa seperti fragmentasi, ketakutan kolektif terhadap hal kecil, penanganan hukum yang berbelit, dan etika publik yang kering terhubung dalam satu garis besar yaitu kegagalan komunikasi antara pengetahuan, tanggung jawab publik, dan akuntabilitas. Kegagalan itu ditunjukkan oleh beberapa artikel seperti F. Rahardi menempatkan fobia lingkungan sebagai cermin sosial, Editorial Tempo menyorot kegamangan institusi dalam menyelesaikan kasus pagar laut ilegal, dan Budiman Tanuredjo menegaskan bagaimana sumpah serta etika seringkali menjadi teks tanpa konsekuensi. Analisis ini membahas setiap teks dengan menggabungkan penilaian penulis dan rujukan langsung pada gagasan teks, mengaitkannya ke situasi aktual di Indonesia, lalu menawarkan langkah-langkah solusi yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Hasil akhir dirumuskan sebagai penegasan ulang dan rangkuman kebijakan yang diperlukan untuk memperbaiki hubungan antara pengetahuan publik, tata kelola, dan etika negara.

Artikel 1 --- Fobia Ulat Bulu di Republik Hantu (F. Rahardi)

Tulisan F. Rahardi membuka wacana dengan mengangkat fenomena sehari-hari untuk menjelaskan masalah bangsa. Tulisan tersebut menghubungkan ketakutan massa terhadap ulat bulu yang berakar pada ketidaktahuan dan kegagalan pendidikan publik. Pendapat ini mendapat pijakan kuat dari kalimat yang mengungkap kelakuan instan otoritas sekolah, misalnya ketika "kepala sekolah segera meliburkan para murid, bukannya menjelaskan bahwa ulat adalah larva kupu-kupu dan tidak berbahaya."

Pernyataan itu dipadu dengan pengamatan lapangan sehingga gagasan pembaca tentang keluguan dan panik massal dikaitkan langsung dengan gagasan teks yang menuntut pendidikan ekologis.

Dalam hal penyajian gagasan, penulis teks menggunakan narasi deskriptif dan retorika yang mudah dicerna untuk menghubungkan observasi alam dan kritik sosial. Gaya bercerita yang mencampurkan anekdot lapangan dan generalisasi politis membuat pembaca memahami bahwa fenomena alam bisa dibaca sebagai simbol kegagalan publik,. Contohnya, penggambaran bahwa ulat akan menjadi pupa dan kupu-kupu yang indah menegaskan bahwa apa yang tampak mengerikan dapat bernilai ekologis. Pernyataan mengenai siklus alam dan gangguan akibat pemanasan global memperkuat argumen ilmiah teks sehingga pembaca tidak hanya menerima kritik sosial tetapi juga bukti ekologis.

Tulisan ini menegaskan bahwa fobia ulat bulu hanyalah metafora tentang ketidaktahuan dan ketidakpedulian moral para pemimpin. Jika pemimpin lebih sibuk mencari hiburan politik dibanding memperbaiki bangsa, tragedi republik ini akan terus berulang. Karena itu, solusi yang ditawarkan penulis tanggapan adalah mengembalikan pendidikan moral dan etika publik sebagai landasan dalam politik maupun kebijakan. Pendidikan tidak cukup berbicara soal sains atau ekologi, melainkan harus mengajarkan nilai tanggung jawab, integritas, dan keberanian moral. Dengan begitu, masyarakat tidak akan mudah terjebak dalam ketakutan semu, dan pemimpin tidak lagi bersembunyi di balik dagelan politik.

Dari perspektif penulis tanggapan, perbaikan praktis diperlukan: kurikulum lingkungan yang menjelaskan siklus hayati, pelatihan bagi guru untuk menghadapi fenomena ekologis, dan kampanye publik yang menempatkan data ilmiah di muka publik agar kepanikan digantikan oleh pemahaman.

Fenomena kecil dapat menjadi cermin besar; pendidikan yang lemah menghasilkan panik kolektif dan keputusan publik yang kontraproduktif.

Artikel 2 --- Sandiwara Pengusutan Pagar Laut Ilegal (Editorial Tempo)

Jika artikel pertama menyoroti kerusakan moral pemimpin melalui simbol fobia ulat bulu, editorial Tempo menunjukkan manifestasi nyata dari kerusakan itu dalam kasus pagar laut ilegal. Artikel ini membahas pengakuan atas peran fungsi pengawasan pers dalam mengungkap simpang siurnya penanganan kasus yang berpotensi memecah kepercayaan publik. Editorial menegaskan bahwa penanganan kasus pagar laut tidak boleh dianggap remeh dan bahwa ketidakjelasan proses memicu kecurigaan bahwa kepentingan besar sedang dilindungi, sebuah argumen yang kuat untuk demokrasi pengawas. Pernyataan Editorial yang menegaskan bahwa "Prabowo harus menyudahi drama yang dilakoni para anak buahnya" menegaskan tuntutan agar kepemimpinan tertinggi memberi kepastian hukum dan politik.

Cara penulis menyampaikan ide sangat argumentatif dan berbasis bukti jurnalisme penelusuran; Editorial menggabungkan kronologi, kutipan pejabat, dan dokumen yang ditemukan demi membangun narasi penyimpangan tata kelola. Kalimat seperti bahwa "pemasangan patok-patok bambu sepanjang 30,16 kilometer sejak 2023" adalah fakta operasional yang menguatkan klaim adanya skema terstruktur, sehingga pembaca dipandu bukan hanya pada kemarahan moral tetapi pada bukti konkret yang menuntut penyidikan serius. Paparan semacam ini menggabungkan tekanan moral dengan kebutuhan teknis penyidikan sehingga pembaca paham aspek hukum, lingkungan, dan politik yang saling terkait.

Sebagai tanggapan, editorial efektif membangkitkan tuntutan transparansi dan akuntabilitas, tetapi argumen publik juga harus diikuti rekomendasi tindakan teknis dan institusional yang jelas. Penulis tanggapan menilai perlu ada tim penyidik independen, audit spasial tata ruang, serta mekanisme perlindungan saksi dari tekanan aktor kuat; hal ini sejalan dengan sorotan editorial bahwa proses penyidikan "semestinya tidak memerlukan teknik yang rumit dan bertele-tele."

Jika tidak, ketidakjelasan hanya akan meningkatkan konflik sosial dan memperpanjang kepercayaan publik yang terkikis.

Bukti operasional harus ditindaklanjuti dengan proses hukum yang transparan; publik membutuhkan jawaban konkret, bukan drama institusional.

Artikel 3 --- Ketika Etika dan Sumpah Menjadi Teks Mati (Budiman Tanuredjo)

Penilaian awal terhadap kolom ini menegaskan bahwa teks memberi pengingat tegas tentang jurang antara lafal sumpah dan praktik politik. Penulis kolom mengawali dengan lafal sumpah anggota DPR dan kemudian menunjukkan bagaimana tindakan politik dapat mengabaikannya, sehingga pembaca dipaksa menilai bahwa etika formal telah kehilangan efek normatifnya. Kutipan inisiasi, "Demi Allah saya bersumpah, bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya ..." menjadi pengantar yang kuat untuk menegaskan bahwa sumpah itu sendiri kini kerap tidak diikuti tindakan yang konsisten.

Dalam hal teknik penyampaian, Budiman memadukan refleksi historis dan tuntutan reformasi untuk menempatkan masalah etika dalam kerangka waktu panjang. Rujukannya pada Gerakan Reformasi 1998 dan Ketetapan MPR No VI/2001 memperlihatkan bahwa ada perangkat normatif yang memungkinkan pengawasan etika, tetapi menurut teks itu "etika itu hanya menjadi ornamen. Teks mati yang tak punya arti." Ungkapan ini merangkum cara teks menggunakan bukti historis dan retorika moral untuk menggugah kesadaran pembaca akan kegagalan implementasi.

Sebagai tanggapan, kolom berhasil memobilisasi urgensi pembersihan moral dan institusional tetapi perlu diikuti langkah-langkah praktis yang menghubungkan sumpah dengan mekanisme sanksi dan pembinaan kepemimpinan. Penulis tanggapan menilai pentingnya memperkuat lembaga pengawas etika yang independen, penerapan sanksi yang nyata, serta pendidikan politik bagi elit agar sumpah bukan lagi ritual kosong. Dukungan masyarakat sipil seperti yang terlihat dalam unjuk rasa yang menghalau upaya pengabaian konstitusi juga menjadi instrumen kontrol yang tak terelakkan. 

Adanya norma tanpa sanksi membuat sumpah hanya menjadi ritual; perubahan struktural dan penguatan pengawasan adalah syarat agar etika kembali bermakna.

Dari artikel-artikel yang dianalisis, muncul benang merah yang relevan dengan permasalahan nyata Indonesia yaitu kegagalan komunikasi sains dan pendidikan, kelemahan penegakan hukum terhadap praktik pemanfaatan ruang laut secara ilegal, dan merosotnya efektivitas norma etika dalam politik. Kasus pagar laut yang dipaparkan Editorial Tempo menunjukkan rangkaian fakta operasional dan tanggal yang jelas, termasuk laporan pemasangan patok sejak 2023 dan penetapan kawasan sebagai proyek strategis nasional pada Mei 2024, sehingga konteks ini bukan sekadar klaim moral melainkan masalah tata ruang dan konflik kepentingan yang nyata. Pernyataan editorial bahwa proses penyidikan berlarut dan penuh ketidakjelasan menandakan kebutuhan segera atas penegakan hukum yang kredibel.


Solusi harus bersifat multidimensi dan melibatkan seluruh pihak terkait:
Pertama, pemerintah pusat, termasuk presiden dan kementerian terkait, harus memerintahkan pembentukan tim penyidik independen yang transparan dan mendapat pengawasan publik untuk kasus-kasus seperti pagar laut; argumen ini didukung oleh dorongan editorial agar pimpinan tertinggi menghentikan "drama" internal dan memastikan penuntasan hukum.

Kedua, lembaga legislatif dan pengawas etika harus memperkuat mekanisme sanksi sehingga sumpah jabatan memiliki konsekuensi nyata, sesuai peringatan bahwa etika tidak boleh menjadi "teks mati."

Ketiga, pendidikan lingkungan dan komunikasi sains perlu diperkuat sejak tingkat sekolah dasar untuk mengurangi kepanikan masyarakat atas fenomena ekologis serta menggantikan fobia kolektif dengan pengetahuan praktis, langkah yang sejalan dengan ajakan F. Rahardi agar pengetahuan lingkungan disampaikan pada anak-anak sekolah.

Keempat, perlindungan saksi, audit publik terhadap proyek strategis nasional, serta keterbukaan data tata ruang harus menjadi bagian dari paket kebijakan guna mencegah konflik sosial dan penangkapan ruang oleh kepentingan sempit. Semua tindakan ini harus disertai mekanisme pertanggungjawaban yang jelas dan jadwal publik untuk penyelesaian kasus.

Analisis bersama ketiga tulisan ini menegaskan bahwa persoalan bangsa tidak berdiri sendiri: fobia kolektif yang berakar dari kekurangan pendidikan, penanganan hukum yang lamban serta penuh kepentingan, dan etika publik yang meredup adalah tiga sisi dari satu masalah besar yaitu lemahnya hubungan antara pengetahuan publik, tata kelola, dan akuntabilitas moral. Tanggapan yang diusulkan menuntut tindakan simultan: memperbaiki pendidikan lingkungan untuk mencegah kepanikan irasional, menegakkan proses hukum yang transparan dan cepat untuk kasus tata ruang dan lingkungan, serta memperkuat lembaga dan mekanisme yang membuat sumpah serta etika berimplikasi nyata. Jika pihak-pihak negara, lembaga hukum, masyarakat sipil, media, pendidikan, dan sektor swasta menjalankan peran masing-masing dengan jelas, maka praktik-praktik yang saat ini tampak sebagai "drama" atau "teks mati" dapat berubah menjadi prosedur yang menjamin keadilan, keselamatan lingkungan, dan kepercayaan publik.

Memperbaiki pendidikan lingkungan untuk mencegah kepanikan irasional, menegakkan proses hukum yang transparan dan cepat untuk kasus tata ruang dan lingkungan, serta memperkuat lembaga dan mekanisme yang membuat sumpah serta etika berimplikasi nyata

Sumber artikel

F. Rahardi, Fobia Ulat Bulu di Republik Hantu, Kompas.com (teks pdf: Fobia Ulat Bulu di Republik Hantu).
 

Editorial Tempo, Sandiwara Pengusutan Pagar Laut Ilegal, Tempo, 20 Januari 2025 (teks pdf: Sandiwara Pengusutan Pagar Laut Ilegal).


 Budiman Tanuredjo, Ketika Etika dan Sumpah Menjadi Teks Mati, Kolom Kompas, 28 Agustus 2024 (teks pdf: Ketika Etika dan Sumpah Menjadi Teks Mati).

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun