Mohon tunggu...
Clement Darielle Tjhang
Clement Darielle Tjhang Mohon Tunggu... Pelajar

Saya adalah seorang pelajar yang gemar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Melawan Fobia, Menuntut Etika, dan Menegakkan Hukum - Krisis Moral dan Tata Kelola

20 September 2025   12:03 Diperbarui: 22 September 2025   15:55 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Jika artikel pertama menyoroti kerusakan moral pemimpin melalui simbol fobia ulat bulu, editorial Tempo menunjukkan manifestasi nyata dari kerusakan itu dalam kasus pagar laut ilegal. Artikel ini membahas pengakuan atas peran fungsi pengawasan pers dalam mengungkap simpang siurnya penanganan kasus yang berpotensi memecah kepercayaan publik. Editorial menegaskan bahwa penanganan kasus pagar laut tidak boleh dianggap remeh dan bahwa ketidakjelasan proses memicu kecurigaan bahwa kepentingan besar sedang dilindungi, sebuah argumen yang kuat untuk demokrasi pengawas. Pernyataan Editorial yang menegaskan bahwa "Prabowo harus menyudahi drama yang dilakoni para anak buahnya" menegaskan tuntutan agar kepemimpinan tertinggi memberi kepastian hukum dan politik.

Cara penulis menyampaikan ide sangat argumentatif dan berbasis bukti jurnalisme penelusuran; Editorial menggabungkan kronologi, kutipan pejabat, dan dokumen yang ditemukan demi membangun narasi penyimpangan tata kelola. Kalimat seperti bahwa "pemasangan patok-patok bambu sepanjang 30,16 kilometer sejak 2023" adalah fakta operasional yang menguatkan klaim adanya skema terstruktur, sehingga pembaca dipandu bukan hanya pada kemarahan moral tetapi pada bukti konkret yang menuntut penyidikan serius. Paparan semacam ini menggabungkan tekanan moral dengan kebutuhan teknis penyidikan sehingga pembaca paham aspek hukum, lingkungan, dan politik yang saling terkait.

Sebagai tanggapan, editorial efektif membangkitkan tuntutan transparansi dan akuntabilitas, tetapi argumen publik juga harus diikuti rekomendasi tindakan teknis dan institusional yang jelas. Penulis tanggapan menilai perlu ada tim penyidik independen, audit spasial tata ruang, serta mekanisme perlindungan saksi dari tekanan aktor kuat; hal ini sejalan dengan sorotan editorial bahwa proses penyidikan "semestinya tidak memerlukan teknik yang rumit dan bertele-tele."

Jika tidak, ketidakjelasan hanya akan meningkatkan konflik sosial dan memperpanjang kepercayaan publik yang terkikis.

Bukti operasional harus ditindaklanjuti dengan proses hukum yang transparan; publik membutuhkan jawaban konkret, bukan drama institusional.

Artikel 3 --- Ketika Etika dan Sumpah Menjadi Teks Mati (Budiman Tanuredjo)

Penilaian awal terhadap kolom ini menegaskan bahwa teks memberi pengingat tegas tentang jurang antara lafal sumpah dan praktik politik. Penulis kolom mengawali dengan lafal sumpah anggota DPR dan kemudian menunjukkan bagaimana tindakan politik dapat mengabaikannya, sehingga pembaca dipaksa menilai bahwa etika formal telah kehilangan efek normatifnya. Kutipan inisiasi, "Demi Allah saya bersumpah, bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya ..." menjadi pengantar yang kuat untuk menegaskan bahwa sumpah itu sendiri kini kerap tidak diikuti tindakan yang konsisten.

Dalam hal teknik penyampaian, Budiman memadukan refleksi historis dan tuntutan reformasi untuk menempatkan masalah etika dalam kerangka waktu panjang. Rujukannya pada Gerakan Reformasi 1998 dan Ketetapan MPR No VI/2001 memperlihatkan bahwa ada perangkat normatif yang memungkinkan pengawasan etika, tetapi menurut teks itu "etika itu hanya menjadi ornamen. Teks mati yang tak punya arti." Ungkapan ini merangkum cara teks menggunakan bukti historis dan retorika moral untuk menggugah kesadaran pembaca akan kegagalan implementasi.

Sebagai tanggapan, kolom berhasil memobilisasi urgensi pembersihan moral dan institusional tetapi perlu diikuti langkah-langkah praktis yang menghubungkan sumpah dengan mekanisme sanksi dan pembinaan kepemimpinan. Penulis tanggapan menilai pentingnya memperkuat lembaga pengawas etika yang independen, penerapan sanksi yang nyata, serta pendidikan politik bagi elit agar sumpah bukan lagi ritual kosong. Dukungan masyarakat sipil seperti yang terlihat dalam unjuk rasa yang menghalau upaya pengabaian konstitusi juga menjadi instrumen kontrol yang tak terelakkan. 

Adanya norma tanpa sanksi membuat sumpah hanya menjadi ritual; perubahan struktural dan penguatan pengawasan adalah syarat agar etika kembali bermakna.

Dari artikel-artikel yang dianalisis, muncul benang merah yang relevan dengan permasalahan nyata Indonesia yaitu kegagalan komunikasi sains dan pendidikan, kelemahan penegakan hukum terhadap praktik pemanfaatan ruang laut secara ilegal, dan merosotnya efektivitas norma etika dalam politik. Kasus pagar laut yang dipaparkan Editorial Tempo menunjukkan rangkaian fakta operasional dan tanggal yang jelas, termasuk laporan pemasangan patok sejak 2023 dan penetapan kawasan sebagai proyek strategis nasional pada Mei 2024, sehingga konteks ini bukan sekadar klaim moral melainkan masalah tata ruang dan konflik kepentingan yang nyata. Pernyataan editorial bahwa proses penyidikan berlarut dan penuh ketidakjelasan menandakan kebutuhan segera atas penegakan hukum yang kredibel.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun