Mohon tunggu...
Helvira Hasan
Helvira Hasan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Perempuan Biasa!

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Warna-warni Pelangi

6 Januari 2011   08:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:54 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

"Maaf," kata Biru lembut.

"Merah, kamu apa-apaan, sih? Sabar sedikit, donk! Nanti juga kita sampai ke dunia seberang. Aku dan Biru cuma butuh istirahat sebentar," kata Kuning tegas mencoba untuk tidak memihak dan bersikap adil.

"Argh, kalian mengacaukan rencanaku!" teriak Merah. Ia menggelegar berkata, "Kalau jadinya begini, aku mending pergi sendiri!" Merah mulai membara. Ia memanas. Melihat Merah seperti itu, Biru bertambah sedih. Gara-gara dirinya, Merah marah. Biru yang biasanya tenang tak bisa lagi menahan kesedihannya. Ia menangis. Air matanya mengalir sangat deras bagai hujan yang jatuh dari langit. Kuning pun jadi terlihat murung. Ia tidak suka Merah tak bisa bersabar. Merah memang tipe yang keras tak mau kalah bagai api yang terus menyulut. Bagaimanapun, Merah tetap saudaranya. Dan, Biru.. Ah, saudaranya yang berperawakan kalem, sangat kalem, tapi mudah sekali tersentuh perasaannya. Seperti saat ini, Biru terkesan cengeng karena mudah sekali menangis. Biru memang sudah tak tahan lagi menahan sesak di dadanya. Maka, Kuning biarkan Biru melepas sesak itu. Kuning mendampingi Biru, sedangkan Merah tampak gusar dengan berjalan mondar-mandir. Tak berapa lama kemudian, Biru sesenggukkan sambil menghapus sisa-sisa air matanya.

"Nah, kamu sudah mulai tenang, Biru. Tidak usah khawatirkan Merah. Energi semangat Merah memang luar biasa. Ia hanya emosi sesaat. Nanti juga ia baikan lagi. Kamu yang sabar, ya. Kamu adalah Biru saudaraku yang paling pengertian dan selalu menenangkan." Kuning berkata sambil merangkul Biru. Kuning si bijaksana menjadi penengah di antara mereka. Emosinya tertata apik. Ia selalu bisa mengambil keputusan yang tepat, seakan ialah pemberi kehidupan bagai matahari yang menyinari bumi.

Akhinya, Biru mereda. Tapi, lihatlah, ke langit sana. Ada semburat-semburat yang begitu indah. Merah yang tadinya uring-uringan terdiam takjub. Biru juga tercengang melihat lengkungan yang sempurna dari langit turun ke bumi mereka. Kuning sumringah. Ia memeluk Biru erat. Mengagumi bersama. Ia pun mengajak Merah mendekat. "Bukankah itu warna-warna yang kita cari di dunia seberang?" ucap Kuning tanpa ragu. Pikirnya sudah jelas bahwa semburat-semburat lengkung itulah warna-warna yang ingin mereka lihat di dunia seberang. Mereka berpandangan. Terpana pada anugrah yang turun dari langit itu.

Lalu, seseorang yang seperti bidadari berseluncur di lengkungan itu. Jatuh tepat di depan Merah, Kuning dan Biru. "Selamat sore, anak-anak yang manis," sapanya. "Selamat sore, wahai Bidadari yang tak bening. Bolehkan, kami memanggilmu bidadari?" balas Kuning dengan ketepatan pikirnya yang bagus. Merah dan Biru masih tercengang.

"Boleh saja. Hahaha.. Aku bidadari yang tak bening, ya? Iya, begitulah. Akhirnya, kalian menemukan warna-warna. Kesabaran kalian hidup dalam kebeningan, boleh kubilang itu kehampaan, teruji sudah. Lihatlah, semburat-semburat indah itu adalah warna-warna yang kalian cari. Semburat pertama itu warna dirimu, Merah." Bidadari itu berkata sambil memandangi Merah yang tadi marah-marah. "Jangan sering marah, ya! Salurkan energi ekstramu untuk kebaikan, okay?" lanjut Bidadari. Merah tersipu malu, tapi ia senang dengan warnanya yang menyala itu.

"Mana warnaku, Bidadari?" tanya Kuning. "Sabar, Kuning. Cobalah sesabar Biru. Kuberi tahu dulu warna semburat kedua, ia Jingga," jawab Bidadari. "Ia perpaduan dirimu dengan Merah. Cobalah nanti kalian berkenalan."

Biru memperlihatkan senyumnya pada Bidadari. Ia pun sebenarnya tak sabar ingin mengetahui yang mana warnanya. "Biru," sapa Bidadari. "Ya, Bidadari," balas Biru. Bidadari pun tersenyum senang betapa Biru itu sangat menenangkan. "Sebentar, ya, aku kasih tahu dulu warna saudaramu Kuning." Biru mengangguk patuh. "Kuning, semburat ketiga itu warna dirimu. Menyala terang bagai mentari di dunia seberang. Warnamu sangat indah, Kuning." Kuning hampir melongo melihat warna dirinya. Indah, batin Kuning.

"Lalu, ada warna Hijau. Ia perpaduan dirimu dengan saudaramu Biru, ia sangat tenang juga benderang. Nah, Biru, setelah Hijau adalah warnamu. Kamu sungguh warna yang mendamaikan." Biru kembali menyunggingkan senyum lebar, lebih lebar dari sebelumnya. Ia sangat mensyukuri keindahan warnanya.

"Terimakasih, Bidadari," ucap Biru. Merah dan Kuning ikut memberi ucapan itu. "Tapi, dua warna lainnya apa?" tanya Merah. "Iya, Bidadari, masih ada dua semburat lagi," sahut Kuning.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun