Saat Harapan Tak Sejalan, Tentang Cinta dan Ketidakpekaan
Cinta tidak selalu hadir seperti yang kita bayangkan. Kadang, kita jatuh cinta pada seseorang yang tidak benar-benar tahu bagaimana menjaga perasaan kita. Kita menaruh harapan, berharap dimengerti tanpa harus terlalu sering menjelaskan. Namun nyatanya, tidak semua orang tahu bagaimana cara mencintai dengan cara yang kita butuhkan. Penulis pernah mencintai seseorang. Dia laki-laki yang pada awalnya terlihat perhatian, hangat, dan mampu membuat penulis merasa dihargai. Tapi seiring waktu, penulis mulai menyadari bahwa kehadirannya sering kali tidak sejalan dengan kebutuhan emosinya. Bukan karena dia jahat atau tidak peduli, tapi karena dia… tidak peka.
Ketika Kepekaan Tak Pernah Hadir….
Ada hal-hal kecil yang baginya sangat penting seperti didengarkan saat sedang lelah, disapa lebih dulu saat pagi datang, atau sekadar ditanya, “Kamu capek nggak hari ini?” Tapi buat dia, semua itu seolah tidak penting. Baginya, hubungan berjalan cukup dengan komunikasi seadanya, tanpa perlu terlalu banyak basa-basi atau perhatian kecil yang sebenarnya sangat berarti untuk penulis. Penulis mulai sering merasa sendirian dalam hubungan yang seharusnya membuatnya merasa aman. Penulis harus menjelaskan semuanya agar dia mengerti bahwa penulis butuh diperhatikan, bahwa penulis ingin merasa diprioritaskan. Tapi entah kenapa, setiap kali penulis bicara, penulis merasa seperti sedang mengeluh. Padahal penulis hanya ingin didengar dan dipahami.
Harapan yang Perlahan Retak…..
Penulis tahu, tidak ada manusia yang sempurna. Tapi sebagai perempuan, penulis punya harapan-harapan sederhana dalam sebuah hubungan. Bukan soal barang mahal atau janji besar, tapi tentang sikap. Tentang bagaimana dia bisa hadir tanpa harus diminta, tentang bagaimana dia tahu kapan penulis butuh dipeluk, bukan didebat.
Namun, semakin penulis berharap, semakin penulis lelah. Karena yang penulis dapat hanyalah tanggapan dingin atau sikap yang tak berubah. Mungkin memang begitulah dia tidak peka, tidak tahu bagaimana mencintai seperti yang penulis harapkan.
Dan di sinilah konflik batin itu muncul. penulis bertanya-tanya: salahkah penulis punya ekspektasi? Terlalu tinggikah harapanku? Atau penulis hanya sedang mencintai orang yang memang tidak bisa memberikan apa yang penulis butuhkan?
Mencintai dengan Sadar, Melepaskan dengan Ikhlas….
Penulis belajar banyak dari hubungan itu. Bahwa cinta bukan hanya tentang rasa, tapi juga tentang usaha. Bahwa perhatian kecil bisa berarti besar, dan kepekaan bukan sesuatu yang bisa dipaksakan itu tumbuh dari hati yang benar-benar ingin mengenal dan menjaga. Ketika seseorang tidak mampu memahami bahasa cintamu, bukan berarti kamu berlebihan. Bisa jadi, dia memang bukan orang yang tepat untukmu. Cinta yang sehat adalah ketika kamu tidak perlu terus-menerus menjelaskan dirimu. Ketika perasaanmu dihargai, tanpa harus direndahkan dulu.
Melepaskan dia bukan karena penulis berhenti mencintai. Tapi karena penulis mulai mencintai dirinya sendiri lebih dulu. Penulis tidak ingin terus berada dalam hubungan yang membuatnya meragukan harga dirinya sendiri.
Untuk Perempuan yang Pernah Kecewa…..
Untukmu yang pernah merasa tidak dimengerti, yang pernah dicintai setengah hati, aku ingin berkata: kamu pantas dicintai dengan sepenuh hati. Kamu tidak salah karena berharap lebih. Kamu hanya perlu waktu untuk menemukan seseorang yang tahu caranya mencintai tanpa membuatmu merasa sendirian.
Cinta yang sesungguhnya tidak membuatmu bertanya-tanya setiap malam. Ia akan datang dengan tenang, tanpa drama, tanpa perlu minta dimengerti setiap saat karena ia akan memahami tanpa harus diminta.
Dan sampai cinta itu datang, rawatlah hatimu. Peluk dirimu sendiri. Karena kamu layak untuk bahagia, bukan hanya menjadi kuat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI