Kesejahteraan masyarakat menjadi fokus utama dalam pembangunan sosial di Indonesia. Salah satu karakteristik dari pembangunan sosial adalah berkaitan dengan pembangunan ekonomi. Jadi, pembangunan sosial harus sejalan dengan pembangunan ekonomi.
Kemiskinan merupakan permasalahan sosial dalam pembangunan ekonomi. Salah satu indikator utama keberhasilan pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat dilihat dari angka kemiskinannya. Maka dari itu, kemiskinan menjadi tema utama dalam pembangunan. Keberhasilan dan kegagalan pembangunan seringkali diukur berdasarkan perubahan pada tingkat kemiskinan karena kemiskinan merupakan masalah pembangunan yang ditandai dengan pengangguran, keterbelakangan, dan keterpurukan. Masyarakat miskin sangat lemah dalam kemampuan berusaha dan mempunyai akses yang terbatas kepada kegiatan sosial ekonomi.
Berdasarkan data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin di Indonesia pada September 2022 sebesar 9,57 persen, meningkat 0,03 persen poin terhadap Maret 2022. Jumlah penduduk miskin pada September 2022 sebesar 26,36 juta orang, meningkat 0,20 juta orang terhadap Maret 2022. Adapun indikator-indikator kemiskinan sebagaimana dikutip dari Badan Pusat Statistik (BPS), antara lain sebagai berikut: (1) ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (pangan, sandang, dan papan); Â (2) tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (pendidikan, kesehatan, transportasi, dan air bersih); (3) tidak adanya jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga); (4) kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massa; (5) rendahnya kualitas sumber daya manusia dan terbatasnya sumber daya alam; (6) kurangnya apresiasi dalam kegiatan sosial masyarakat; (7) tidak adanya akses dalam lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan; (8) ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental; (9) ketidakmampuan sosial (kelompok marginal dan terpencil).
Masalah kemiskinan ini berhubungan dengan kesejahteraan sosial. Maka, berdasarkan analisis kesejahteraan sosial, perlu adanya usaha-usaha kesejahteraan sosial dalam mengentaskan kemiskinan tersebut. Namun, kebijakan pengentasan kemiskinan masih banyak didesain dengan pendekatan top-down yang bersifat sentralistis, misalnya pada era orde baru. Kebijakan program pengentasan kemiskinan pada era orde baru tidak berjalan dengan optimal. Hal itu dikarenakan, segala sesuatunya hanya bersumber dari pemerintah sehingga masyarakat hanya dijadikan objek pembangunan saja.
Ketidakberdayaan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan ketidakmampuan dalam mengkontrol berbagai kebijakan program sehingga mematikan kebebasan masyarakat untuk menyalurkan ide kreatif dan inovatif yang dimilikinya. Pendekatan top-down juga tidak memperhatikan berbagai aspek seperti aspek budaya dan aspek sosial. Pendekatan ini tidak memperhatikan perbedaan potensi wilayah secara geografis dan tidak memperhatikan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang berbeda antar wilayah. Hal tersebut yang membuat produk-produk pembangunan tidak mencapai sasaran dan hanya menghabiskan anggaran negara.
Belajar dari pendekatan top-down pada era orde baru, pemerintah harus menggunakan pendekatan bottom-up sebagai pendekatan yang ideal dalam pembangunan untuk mengentaskan kemiskinan dengan memperhatikan kreatifitas, inisiatif, dan aspirasi dari masyarakat. Pendekatan bottom-up memandang masyarakat sebagai bagian dari subjek atau aktor pembangunan. Selain itu, pendekatan sebagai upaya untuk mengentaskan kemiskinan yang perlu dikoreksi, yaitu:Â
1. Kebijakan yang terpusat dan seragam
2. Asumsi permasalahan dan penanggulangan kemiskinan yang sering dipandang sama (one-fit-for-all)
3. Kelompok sasaran antara program yang satu dan program lainnya seringkali tumpang tindih
4. Kurang memperhatikan keragaman budaya
5. Kebijakan yang bersifat sektoral dan daerah kurang diberdayakan dalam keseluruhan proses penanggulangan kemiskinan.