Mohon tunggu...
Clarasia Kiky
Clarasia Kiky Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Kiky adalah pecinta sastra dan wastra Indonesia. Hasil corat-coretnya dapat ditemukan di dalam "Siluet Dalam Sketsa" terbitan Penerbit Buku Perempuan dan "Bongkar Pasang Negeri 5 Menara" terbitan Gramedia Pustaka Utama. Untuk menghubungi silakan email ke clarasia.kiky@yahoo.com.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Identitas Itu Batas

9 Desember 2013   15:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:08 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di atas kereta ekonomi yang melaju. Banyuwangi-Yogyakarta, pada awal Januari 2013.

“Nduk, jangan lupa bawa KTP kemana-mana. Biar kalau kamu ada apa-apa, bisa segera diidentifikasi,” kata ibu saya yang kemudian diikuti oleh perasaan deg-degan, takut membayangkan kecelakaan atau tertimbun reruntuhan gempa. Atau jadi korban rumah kebakaran. “Mbak, boleh minta kartu anggota gym-nya?” kata petugas setiap kali saya melintasi meja depan dengan pusat kebugaran dengan cepat-cepat (sebab kelas favorit saya sudah dimulai lima menit sebelum saya tiba). Kita semua tahu bahwa kartu identitas itu penting. Siapa tahu kita kena musibah, paling tidak akan ada orang yang bisa memberi kabar terbaru kita pada keluarga. Ketika menggunakan fasilitas, baik yang berbayar maupun yang tidak berbayar pun kita juga perlu identitas. Bagaimana bisa seorang petugas bisa memutuskan apakah kita berhak menggunakan fasilitas tertentu? Tentu ia memerlukan kartu identitas. Dari hal-hal yang sudah dikemukakan di atas, kartu identitas memang penting. Itu artinya, identitas pun juga penting. Namun pertanyaan berikutnya, apakah identitas masih penting jika justru karena identitas itu kita jadi kehilangan hal yang sangat berharga? Sebagai seorang yang mengaku suka berjalan-jalan hemat, naik bus malam atau kereta kelas ekonomi sudah menjadi hal yang biasa bagi saya. Yang saya suka dari menggunakan moda transportasi seperti ini adalah kesempatan untuk mengasah kepekaan pikiran dan hati pada kehidupan sekitar. Maklum, apapun yang ada di sekitar saya selama kurang lebih tujuh tahun ini membuat saya hidup terlalu nyaman. Udara yang segar di Karawaci, kesempatan untuk belajar dan menimba ilmu yang baik, serta makanan yang cukup. Maka dari itu, ketika saya sedang berada di perjalanan, seharusnya di situlah saya banyak berinteraksi dengan orang, belajar lebih banyak dan bisa menyeimbangkan kinerja otak dan hati yang semakin dingin karena berbagai tuntutan yang ada di dalam rutinitas. Wajar jika saya selalu berekspektasi tinggi pada tiap perjalanan saya. Batas Pemisah Namun rupanya itu tak semudah yang saya pikirkan. Ketika saya sudah asyik berbicara dengan seorang lelaki paruh baya di perjalanan Weleri-Jakarta, tiba-tiba semua pembicaraan menjadi terhenti. Kehangatan yang sebelumnya ada mendadak hilang. Semua karena ia bertanya profesi saya. Ia menekuni dunia pertukangan batu, saya menghormatinya. Tapi ia rikuh dengan saya yang kebetulan seorang guru. Sebenarnya saya tidak pernah menyebut profesi saya, namun dia bertanya. Masakan saya berbohong? Begitu pula ketika saya tengah menikmati pembicaraan yang begitu menyenangkan bersama seorang ibu dan anaknya di dalam kereta. Awalnya ia sangat senang berbicara mengenai keluarganya (bahkan beserta keadaan ekonominya). Pula dengan kegiatan mereka sehari-hari yang berhubungan dengan sampah di pinggiran Bekasi. Kami sangat menikmati kebersamaan kami. Lalu tiba-tiba semua menjadi aneh ketika ia sudah mulai bertanya apa profesi saya. Salahkah saya menyebut identitas saya? [caption id="attachment_774" align="aligncenter" width="474" caption="Di atas kereta ekonomi yang melaju. Banyuwangi-Yogyakarta, pada awal Januari 2013."] [/caption] Belum lagi dengan perjumpaan saya dengan seorang penjaga minimarket terdekat rumah kontrakan saya. Semula ia sangat menarik perhatian saya karena ia adalah orang yang pandai menghitung, menata barang, dan mengobrol dengan pelanggan. Dalam beberapa kesempatan kami berbincang yang  tidak hanya di dalam toko dalam rangka menunaikan peran karyawan toko – pelanggan, namun di luar itu juga. Tapi bagaimana akhirnya ketika ia mengetahui posisi saya di tempat kerja saya? Tentu sudah tertebak reaksi selanjutnya. Padahal saya sudah berusaha untuk menyembunyikannya. Identitas adalah batas. Setidaknya ini yang bergema di alam pikir saya. Dalam kacamata tertentu, profesi guru dianggap rendahan karena beberapa perpikir untuk menjadi guru tidak diperlukan banyak biaya studi. Atau mungkin karena gajinya yang kecil? Dalam waktu bersamaan, kacamata lain memandang profesi guru biasa-biasa saja, tidak memiliki keistimewaan yang berarti. Mungkin karena ada stigma tertentu pada para guru yang lebih ‘memberi hati’ pada dunia les? Dan di sisi lain, ada yang menganggap guru merupakan sosok yang dikagumi, yang memiliki batas dengan keberadaannya. Guru dianggap profesi yang jelas dan tidak sepatutnya jika kita dekat dengan orang-orang yang terpanggil untuk mengajar tersebut. Saya pikir ini berlaku di elemen-elemen identitas yang lain. Apakah orang akan tetap mengobrol dengan hangat ketika mendadak tahu lawan bicaranya memiliki aliran kepercayaan tertentu yang berbeda dengannya? Lebih-lebih jika banyak orang menganggap kepercayaan tersebut sebagai aliran sesat? Atau kemungkinan lain. Apakah tidak akan ada reaksi yang berbeda pada orang yang tiba-tiba tahu orientasi seksual lawan bicaranya dianggap berbeda dari pada umumnya? Lalu bagaimana dengan stereotip terhadap ras tertentu? Saya yakin dalam putaran dunia yang katanya sudah modern ini, hal-hal serupa masih banyak dijumpai.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun