Mohon tunggu...
Clarasia Kiky
Clarasia Kiky Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Kiky adalah pecinta sastra dan wastra Indonesia. Hasil corat-coretnya dapat ditemukan di dalam "Siluet Dalam Sketsa" terbitan Penerbit Buku Perempuan dan "Bongkar Pasang Negeri 5 Menara" terbitan Gramedia Pustaka Utama. Untuk menghubungi silakan email ke clarasia.kiky@yahoo.com.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Belajar Menjadi Wanita Melalui “Soekarno”

19 Desember 2013   22:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:43 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang Murid yang Mencintai Gurunya

Sepanjang bulan November, negeri kita dipenuhi dengan gegernya khalayak terhadap wacana diangkatnya Sarwo Edhi Wibowo sebagai pahlawan nasional. Maka setelah hari pahlawan nasional diperingati, munculah sebuah tulisan di rubrik opini Kompas di pertengahan November yang membahas tentang gagasan pengangkatan pahlawan nasional. Di dalam tulisan tersebut, salah satu yang dibahas adalah kegagalan Ibu Inggit Garnasih ditetapkan sebagai pahlawan sebab negeri ini tidak mau mendukung ide poligami demi teladan bangsa. Itu semua karena Soekarno dan Fatmawati sudah ditahbiskan menjadi sepasang pahlawan terlebih dahulu, bapak dan ibu negara pertama Indonesia. Yah, meskipun peran Inggit begitu besar dalam menghantarkan bapak bangsa ke gerbang kemerdekaan.

Yang akan saya kemukakan selanjutnya lebih merupakan catatan pribadi atas pengalaman saya menonton film “Soekarno”. Saya akan menuturkan apa yang saya pelajari melalui film tersebut. Sungguh, tidak ada maksud bias terhadap salah satu pihak. Sekali lagi, apa yang saya pelajari adalah berdasarkan apa yang saya tonton di film saja.

[caption id="" align="aligncenter" width="592" caption="Sang Penyambung Lidah Rakyat"][/caption]

MEMILIKI PRINSIP

Inggit adalah istri pertama Soekarno. Kebetulan ia tidak mampu memberikan keturunan bagi Soekarno. Namun dalam film itu, ia adalah wanita yang sangat berprinsip. Keputusan untuk bercerai bukan ia lakukan layaknya selebriti yang suka mengumbar sensasi. Ia melakukan semua ini demi prinsip. Ia rela berkorban, melepaskan diri dari ikatan lembaga pernikahan ketika pendapatnya – bahwa ia tidak mau dimadu, tidak digubris. Meski ia begitu mencintai suaminya dan sudah banyak memberikan sumbangsih pemikiran bagi Soekarno, ia rela berpisah ketika suaminya bersikeras menginginkan istri lagi dan memiliki keturunan darinya. Bagi saya pribadi, keputusan yang diambil Inggit merupakan hal yang sangat berat namun ia bisa menunjukkan prinsip yang diyakininya bahwa cinta tak dapat dibagi. Lagi pula apakah tujuan dari pernikahan adalah menghasilkan keturunan saja? Saya pikir tidak! Masih ada banyak hal yang lebih prinsipil daripada sekedar itu.

[caption id="" align="aligncenter" width="528" caption="Belajar dari Inggit Garnasih"][/caption]

INDEPENDEN

Wanita yang menarik adalah wanita yang independen. Inggit menunjukkan hal tersebut ketika ia membuat keputusan untuk bercerai dengan Soekarno. Saat memutuskan seperti itu, artinya ia sudah siap dengan kondisi pasca perceraian, bahwa ia akan hidup tanpa pendamping. Wanita seperti ini sangat pemberani. Bahkan saat Soekarno ingin mengantarkannya ke kota lain setelah bercerai, ia menolak. Hal ini menunjukkan ia tidak tergantung pada orang lain dan siap untuk hidup sendiri.

MENGHORMATI HAK ORANG LAIN

Wanita yang baik adalah yang tahu betul hak-hak orang lain dan tidak ingin melanggar batas tersebut. Saya pikir, hanya seorang remaja labil yang rela merengek-rengek supaya orang tuanya merestui rencana pernikahannya dengan seorang lelaki yang sudah beristri. Dengan naïf, alasan rengekan tersebut adalah demi cinta. Sungguh ini merupakan pelanggaran batasan hak orang lain. Apalagi jika wanita ini sudah bersurat-suratan dengan suami orang lain. Bukankah ini adalah sebuah tindakan perselingkuhan verbal? Dan selingkuh itu jelas tidak menghormati hak orang lain, yang dalam hal ini adalah hak dari Inggit sebagai istri yang (masih) sah. Kalaupun pada akhirnya Soekarno bercerai dengan istri pertama dan kemudian menikah lagi, pernikahan kedua ini ada karena hasil perselingkuhan verbal.

[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Seorang Murid yang Mencintai Gurunya"][/caption]

MEMILIKI KESIAPAN PADA SEGALA REALITA

Realita itu nyata dan harus diterima karena tidak bisa diubah. Realita adalah produk dari hubungan sebab-akibat. Maka dalam gilirannya, perasaan harus disiapkan sedini mungkin sebagai sebuah tindakan yang wajar saat berhadapan dengan konsekuensi – pahit ataupun manis. Dalam film ini ditunjukkan bahwa istri kedua membakar foto keluarga dengan Inggit sebagai istri pertama karena ia merasa cemburu, dibanding-bandingkan oleh anak angkat dari suami dan istri pertama. Dan pembakaran foto ini mengakibatkan si anak angkat lari dari rumah. Bukankah “dibanding-bandingkan” itu merupakan konsekuensi psikologis yang seharusnya sudah disadari ketika ia memutuskan untuk menjadi istri kedua? Meski wajar sekali bahwa tidak ada satu pun manusia mau dibanding-bandingkan, tapi dalam membuat keputusan, seyogianya kita sudah paham dengan konsekuensi yang akan ditimbulan. Realistis, lah.

Sebagai penutup, saya ingin menegaskan bahwa tidak ada satupun niat saya untuk mengelu-elukan satu pihak sementara memojokkan lain pihak. Saya hanya membagikan yang saya pelajari setelah menonton film “Soekarno” yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo ini. Semoga apa yang terlihat dari film adalah hal-hal yang sebenarnya terjadi sehingga saya pun sebagai kaum awam juga tidak salah menggali. Yang jelas, wanita-wanita di dalam film ini adalah korban-korban budaya patriarki. Inggit tidak memiliki keturunan, maka ia tidak diinginkan lagi dalam sebuah pernikahan. Fatmawati hidup dalam konteks budaya yang mengijinkan lelaki berkuasa atas segalanya sehingga ia tidak sempat memikirkan orang lain yang sekaum dengannya.

Satu hal yang mungkin patut dipikirkan lagi. Mungkinkah menjadi ibu negara dan seorang pahlawan tidak sesederhana hanya karena bisa menjahit bendera pusaka dan mengikuti berbagai acara kenegaraan suami? Bukankah proses pembentukan negara ini juga lahir dari seorang lawan bicara seorang plokamator di atas ranjang dan meja makan? Bukankah juga ada seorang wanita yang mampu menghantarkan proklamator pada gerbang kepemimpinannya? Bukankah ibu negara juga adalah orang yang berprinsip, independen, menghormati hak orang lain, dan selalu siap dengan realita?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun